STEPHEN Hawking, mendiang fisikawan terkemuka yang dikenal akan teori alam semestanya itu, di laman Wikipedia terungkap bahwa suatu waktu pada tahun 2006, Hawking iseng mengajukan pertanyaan terbuka di internet. "Andaikan dunia ini mengalami kekacauan, kira-kira bagaimana cara umat manusia bisa bertahan, hingga 100 tahun berikutnya?". Sekian orang menyampaikan tanggapan, tapi Hawking malah membalasnya, bahwa dirinya sendiri tidak tahu mau jawab apa.
"Saya mengajukan pertanyaan seperti itu, justru karena saya mengharapkan agar umat manusia memikirkan jawabannya, sehingga menyadari bahaya akan dihadapi umat manusia saat ini, juga selanjutnya", jelas ilmuan terpenting dunia itu. Dan menjelang akhir hayatnya, si manusia jenius itu berwasiat pada umat manusia untuk bersiap-siap menghadapi ancaman kemajuan "Artificial Intelligence", perang nuklir, serta virus mematikan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik.
Lalu, ketika Covid-19, si Coronavirus itu, mulai menggerayangi umat manusia seisi alam raya ini, ragam spekulasi bertabur. Saya mereka-reka, mungkin seperti itulah firasat si pelontar "Theory of Everything" -- teori "sapujagat" yang ikut memperkuat teori relativitasnya Albert Einstein itu -- bahwa alam semesta, bermula serta berakhir di "Black Hole". Selubung hitam. Namun, semua spekulasi tetap spekulasi. Meski Donald Trump dan Xi Jinping, seteru dagang itu, saling tuding.
Mau menembus prasangka, apa Covid-19, si Corona virus itu, murni adanya karena proses alami melalui mutasi genetik, ataukah karena konspirasi pertarungan global -- terutama bagi Tiongkok dan Paman Sam -- itukah yang memproduksinya? Jangankan mau menembus jawabannya, soal menemukan vaksinnya saja -- mendesak dan ditunggu-tunggu -- seluruhnya masih kalang kabut. Sekalipun oleh 35 perusahaan serta lembaga akademik, tengah gesit berlomba menemukannya.
Tiongkok yang kali pertama kedatangan dan dihajar si Corona, di saat puncak letih menghadapi serbuan virus mematikan itu, oleh juru bicara kementerian luar negerinya, Zhao Lijian, seketika menonjok hidung balatentara Trump sebagai "kambing hitam". Pembawa virus, kala berlatih di Wuhan. Lalu, kala si Corona menggerayangi rakyat Amerika Serikat, Trump dianggap lalai. Agar tak kehilangan suara di Pilpres 2020 nanti, Trump berbalik menuding Tiongkok pelecut virus itu.
Di era pertarungan global -- pasca perang dingin -- teori konspirasi, menunjuk "kambing hitam", -- memang pelarian terbaik. Menumpah kegalauan. Film "Contagion", garapan Sodenberg, juga novel "The Eye of Darkness" karya Dean Koontz -- hanya punya kemiripan cerita -- pun ikut pula diseret sebagai pembukti. Namun apapun spekulasi itu, juga keliru andai teori konspirasi diabai. Dan ketika si Corona, deras menyerbu, dibutuhkan justru adanya kebersamaan. Soliditas global.
Apakah gempuran Covid-19, si Coronavirus inilah dimaksud Stephen Hawking dalam wasiatnya? Entah. Tapi, Youval Noah Harari, penulis tiga buku terkeren saat ini; Homo Sapiens, Homo Deus, dan 21 Pelajaran Abad ke-21, dalam dua artikelnya soal Cavid-19, menjelaskan akan kesuksesan Tiongkok mengusir Corona-19, musabab kedigjayaan tekhnologi "Artificial Intelligence", mereka miliki. Tapi ingat, kedigjayaan itu bisa berisiko bagi peradaban manusia selanjutnya. Masa sih?
Makassar, 31 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H