Lihat ke Halaman Asli

Kesederhanaan Hidup adalah Pilihan

Diperbarui: 28 November 2019   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.com by Soeta Soenda

Seorang anak muda sekampung - dulu seringkali bertukar pikiran dengan saya - kini ia mencoba menjajak hidup di rimba belantara ibukota negara. Melalui pesan WhatsApp, ia mengirimi saya satu artikel bernas, ditulis seorang cendekia muda cukup ternama di negeri ini. Anak muda yang saya tau memang akrab pemikiran dan narasi kritis itu, sepertinya ia tersentuh membaca ulasan di blog pribadi sang cendekia. Sebab itu, ia bermaksud berbagi bacaan bermutu dengan saya.

Tuntas membaca, "Haji Agus Salim: Kisah Teladan Kesederhanaan", benar sebuah ulasan sangat  menyentuh. Bagaimana tak menyentuh, jika diulas adalah sosok sekaliber Agus Salim - ia lahir di Agam Sumbar 8 Oktober 1884, bernama Masyhudul Haq - satu diantara sembilan perumus UUD 1945, juga anggota Volksraad (dewan rakyat), serta seorang diplomat ulung yang mendapatkan pengakuan dunia internasional. Juga pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia di era RIS.

Posisi dan jabatan disandangnya tiada tanding, tiada terbilang. Namun hingga wafatnya, di usia 70 tahun, 4 November 1954, ia tak pernah memiliki rumah pribadi. Masa hidup, berjuang untuk negeri ini ia hidup secara nomaden, berpindah dari satu ke rumah lain dengan status kontrakan. Nanti setelah wafat, beberapa tahun kemudian, anak-anaknya patungan untuk membeli rumah kontrakan yang berada di gang sempit dan becek itu demi mengenang masa hidup sang ayah.

Mantan jurnalis yang pernah memimpin sekian surat kabar di masa pergerakan kemerdekan itu  dikenal sebagai polyglot. Menguasai sembilan bahasa secara fasih. Tapi di rumah kontrakannya, dikemukakan Mohammad Roem, sahabat seperjuangannya, bahwa antara kasur gulung, ruang makan, ruang dapur, serta tempatnya menerima tetamu, bersatu dalam ruangan besar. Bahkan sekian bulan rumah itu gelap akibat Agus Salim tak punya uang melunasi iuran aliran listrik.

Mengagumkan sekali. Dan saya yakin, anak muda sekampung saya - yang mengirimi saya ulasan itu - tentu jauh lebih dalam lagi kekagumannya pada sang tokoh. Buktinya, dini hari ia mengirim ulasan itu. Rasa kagum itu, boro-boro datang dari saya, maupun anak muda itu, Bung Hatta saja pernah menyampaikan, jika seratus tahun kelak, negeri ini mustahil melahirkan tokoh sekaliber Agus Salim lagi. Terlebih lagi pengakuan kekaguman sejumlah tokoh terkemuka sekian negara.

Kekaguman datang - boleh jadi - kian memuncak, jika coba membanding-bandingkan kehidupan pola laku kehidupan pejabat negara kita saat ini. Jauh rendah di bawah jabatan di sandang Agus Salim, tapi jauh melambung tinggi kehidupannya dari Agus Salim. Saya sangsi, jika si anak muda yang mengirim ulasan itu - saat tengah menjajak hidup - serta merta terjebak pada pemahaman itu. Sebab itu, segera saya membalas pesannya. "Setiap orang tak boleh melarat. Harus kaya!".

Lanjut pesan saya. "Tapi pejabat negara pantang merampas uang negara". Saya tak sependapat  jika kejujuran dipersepsikan sama nilainya kesederhanaan, apalagi kemelaratan. Kesederhanaan  hidup hakikatnya bukanlah kesengsaraan, tetapi sebuah pilihan. Dan pilihan hidup seperti itulah yang mengagumkan dari Agus Salim untuk diteladani. Sebagaimana paham dianutnya "Leiden is lijden". Pemimpin harus menderita. Dan hanya orang bijak yang mampu memahami semua itu.

Makassar, 27 November 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline