Sebulan lebih, sejak awal memasuki Ramadan, lebih-lebih pra dan pasca lebaran Idul Fitri, layar hape saya dibanjiri ratusan permohonan maaf. Tak hanya mampir di jalur sms, tapi juga di jalur Instagram, WhatsApp dan lebih lagi di halaman facebook.
Saya memastikan bahwa peristiwa ini tak hanya berbanjir di layar hape saya, tetapi juga meluap ke jalur halaman hape sekian banyak orang. Tak lain, saat bersamaan, saya juga mengirim permohonan maaf ke sekian ratus hape.
Sekurang-kurangnya, hal sama juga mampir di layar hape sekisaran 60 % pengguna hape, dari 207,2 juta jiwa masyarakat muslim di Indonesia, ataukah 50 % dari 1,5 miliar jiwa masyarakat muslim yang mendiami permukaan bumi ini. Coba menduga, lalu mengkalkulasi jumlah seperti itu, kelihatannya hal yang sepele, tapi saat coba mendekatkannya pada peristiwa penyampaian permohonan maaf yang dilaksanakan serentak di seluruh jagat, tentu bukanlah peristiwa biasa.
Dalam takaran saya, ini benar-benar peristiwa luar biasa. Semakin luar biasanya lagi, tak hanya dilakukan secara simultan, tapi juga masif dilakukan di waktu bersamaan di seluruh dunia.
Dan hebatnya lagi, dilakukan secara suka cita. Rela tanpa ada yang memaksa. Semata dorongan atas inisiatif kesadaran dan keluhuran hati nurani masing-masing. Bertindak secara sadar, tulus, dan terbuka untuk memohonkan maaf secara timbal balik antarindividu atau antarkelompok.
Sungguh, dalam takaran saya, ini adalah peristiwa maha penting. Peristiwa seperti ini, tidaklah lazim terjadi di muka bumi ini. Sebab memohonkan maaf, entah memang pernah berbuat keliru atau tidak, entah diminta atau tidak, apalagi dilakukan secara terbuka, sesungguhnya bukanlah perbuatan yang lazim. Meminta maaf, justru seringkali dianggap naif dan tabu, bahkan menjadi perisai. Tak mau jujur mengaku keliru. Gengsi; merendahkan derajat, harkat dan martabat.
Di dalam fenomena sosiokultural masyarakat Bugis-Makassar misalnya, dalam hubungan patron klien, seorang Ajoareng (orang yang diikuti), ditabukan menyampaikan permohonan maaf pada joa' (orang yang mengikuti), sekalipun berbukti berbuat keliru. Mungkin sebab itu, masyarakat Bugis-Makassar, konon tidak memiliki perbendaraan kata maupun kalimat yang diksinya untuk menyampaikan "maaf", selain melalui hahasa non verbal. Isyarat gestur dan kinesik.
Atas pertimbangan dalil empiris seperti itu, saya ikut mendalilnya, bahwa permintaan maaf, tak lagi sekadar peristiwa sederhana yang biasa-biasa saja. Ratusan pesan yang mampir ke program hape milik kita dalam sebulan terakhir, puncaknya di hari Idul Fitri, sendirinya bukanlah sesuatu hal yang sederhana. Apalagi jika masif dilakukan secara simultan oleh 1,5 miliar jiwa masyarakat muslim yang mendiami jagat alam raya ini. Bukankah hal demikian suatu peristiwa luar biasa?
Universalitas Idul Fitri adalah monumen pelecutnya. Setiap tahun, setiapkali Ramadhan hingga puncak 1 Syawal dalam 354-355 hari kalender Hijriah, tiap tahun peristiwa yang saya sebut luar biasa itu terjadi.
Tiap tahun, ada 1,5 miliar jiwa, atau 24,5 % manusia di jagat ini, mentahbiskan diri secara verbal, meruntuhkan keangkuhan, tanpa gengsi, kehilangan harkat dan martabatnya hanya karena memohonkan maaf secara terbuka. Idul Fitri, monumen pendamai jagat raya ini.