Lihat ke Halaman Asli

Kembali Menghidupkan GBHN

Diperbarui: 2 Februari 2016   21:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo: Jokowinomics.com"][/caption]

Ketika menyampaikan pidato pada pembukaan Rakernas PDI-P, 10 Januari 2016 yang lalu, di Jakarta, Ketua Umum PDI-P, Megawati, menyampaikan sudah saatnya visi dan misi personal para pemimpin untuk dirubah dengan konsep jangka panjang. “Indonesia ini nanti mau jadi apa? Jangan sampai konsep Indonesia berubah terus hanya karena pemimpinnya berganti”, jelas Megawati yang berharap agar konsepsi jangka panjang haluan negara, segera disusun.

Di kesempatan yang sama, Presiden RI, Joko Widodo yang menyampaikan sambutan setelah Megawati, menyampaikan dukungannya terhadap gagasan perlunya merumuskan konsepsi haluan negara yang berjangka panjang. “Agar kita tidak lagi memikirkan haluan negara yang jangka pendek dalam masa lima hingga sepuluh tahun saja, tapi kita juga harus memikirkan konsep haluan negara yang berjangka panjang untuk ke depannya”, jelas Joko Widodo.

Pernyatan seragam disampaikan Megawati dan Joko Widodo, mengingatkan kembali pada rumusan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) di masa Orde Baru, yang ditetapkan MPR-RI dan dijalankan sepenuhnya oleh Presiden RI, Soeharto, selaku mandataris MPR-RI. GBHN menjadi acuan pemerintah dalam menata kebijakan pembangunan yang akan dijalankan, sekaligus menjadi pijakan bagi DPR/MPR-RI untuk menilai sejauhmana kinerja pemerintah.

Namun di era reformasi ketika dilakukan amandemen UUD 1945, mulai diberlakukan sistem presidensial. GBHN dengan sendirinya ditiadakan, karena MPR-RI bukan lagi diposisi sebagai lembaga tertinggi negara untuk menyusun GBHN atau memintai pertanggungjawaban pada Presiden RI. Sementara Presiden RI, juga bukan lagi mandataris MPR-RI, sehingga Presiden RI memiliki kewajiban menyusun rencana pembangunan nasionalnya secara sendiri-sendiri.

Akibat karena tiap Presiden RI menyusun visi dan misinya sendiri-sendiri, maka konsekuensi yang harus ditanggung negara, seperti nasibnya yang disampaikan seragam oleh Megawati dan Joko Widodo. Arah, kebijakan dan program pembangunan nasional, tak lagi berorientasi dan berkesinambungan secara jangka panjang, karena masing-masing presiden menjalankan program sesuai visi dan misinya. Juga tidak lagi mempertanggungjawabkannya pada MR-RI.

Bahkan risikonya, saat amandemen UUD 1945, juga dihasilkan penguatan otonomi daerah, sehingga sulit dihindari adanya perencanaan pembangunan yang berjenjang. Sehingga pada saat ini, berjalan empat tingkatan perencanaan pembangunan. Yaitu, perencanaan di tingkat desa, kabupaten/kota, propinsi dan tingkat nasional. Dan keempatnya, tidak berjalan seiring akibat benturan logika masing-masing pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyatnya.

Memang dilematis. Satu sisi, negara perlu perencanaan pembangunan berkelanjutan, tetapi di sisi lain menurut pakar tata negara, jika GBHN ingin dihidupkan kembali, maka UUD 1945 mesti dilakukan amandemen ulang. MPR-RI kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Dan Presiden RI sebagai mandatarisnya. Dan tak mustahil jika PDI-P akan menawarkan konsepsi Soekarno, “Pembangunan Semesta Berencana”, ditetapkan sebagai haluan jangka panjang.

Makassar, 20 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline