Lihat ke Halaman Asli

Kemenangan Suara Rakyat

Diperbarui: 17 Desember 2015   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo: Tribunnewews/Irwan Rismawan"][/caption]

Tepat sebulan penuh, mulai 16 November 2015 hingga 16 Desember 2015, kisruh nasional terhadap upaya pemalakan saham yang dilakukan Ketua DPR-RI, Setya Novanto, terhadap perusahaan penambangan emas PT Freeport Indonesia mengguncang perpolitikan nasional. Kisruh bermula ketika Menteri ESDM RI, Sudirman Said, membeber dan melaporkan Ketua DPR-RI, Setya Novanto, ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas pelanggaran etik.

Setelah rangkaian sidang-sidang etik MKD dilaksanakan, pada akhirnya berujung dengan apa yang dikatakan Ketua MKD, Surahman Hidayat, telah berakhir dengan “happy ending”. Yang dimaksudkan “happy ending”, mungkin adalah ketika MKD berkehendak membacakan hasil putusan siding MDK, tapi tiba-tiba Setya Novanto justru memajukan ke meja pimpinan MKD, surat pengunduran dirinya dari jabatan Ketua DPR-RI yang baru setahun lebih disandangnya.

Pengunduran diri Setya Novanto dengan sendirinya menutup keseluruhan rangkaian sidang-sidang MKD, mengingat karena objek persidangan ini adalah pada diri Setya Novanto selaku Ketua DPR-RI dalam hal pelanggaran kode etik seorang pejabat tinggi negara. Satu sisi dapat dipahami karena sidang-sidang MKD memang bukanlah peradilan umum, tetapi pengadilan etik, yaitu pelanggaran terhadap apa yang pantas dan tak pantas dilakukan pejabat negara.

Tapi menjadi ganjil karena pengunduran Setya Novanto semata dari kedudukannya sebagai Ketua DPR-RI, sama sekali bukan sebagai seorang pejabat negara, Anggota DPR-RI. Padahal aturan kode etik itu berlaku bagi seluruh anggota DPR/MPR-RI dalam kedudukannya sebagai pejabat tinggi negara, tidak mengatur pemberlakuan semata kepada pimpinan DPR-RI atau MPR-RI saja, tapi bagi keseluruhannya. Lalu mengapa sidang MDK berakhir “happy ending”.

Dan jika seandainya pengunduran diri Setya Novanto dari jabatannya sebagai Ketua DPR-RI itulah yang dianggap “happy ending” sehingga seluruh rangkaian siding-sidang MDK dinilai telah berakhir pula dengan sendirinya, maka tak salah jika seandainya disimpulkan bahwa rangkaian sidang-sidang MKD, memang ditujukan semata hanya untuk melengserkan Setya Novanto dari kursinya sebagai Ketua DPR-RI. Setelah mundur, sidang-sidang pun selesai.

Maka ketika Setya Novanto mengundurkan diri, maka itulah yang disebut Harian Kompas (17/120015) di halaman mukanya sebagai “Kemenangan Suara rakyat”. Padahal di sisi lain, sebenarnya masih jauh lebih banyak persoalan lain di baliknya yang menjadi kepentingan negara dan kemenangan rakyat yang terselip di balik upaya pemalakan saham dilakukan Setya Novanto terhadap perusahaan penambangan emas yang beropersi di Papua itu.

Sebagaimana telah beredar luas di tengah masyarakat, bahwa banyak kepentingan yang bermain pada perusahaan milik corporasi Amerika Serikat, Freeport McMoran Copper & Gold Inc PT Freeport itu. MDK mestinya ikut mengungkapkan keseluruhan kepentingan itu. Sebab justru di situlah kepentingan negara yang diharapkan menjadi kemenangan rakyat secara menyeluruh. Bukan semata melengserkan Setya Novanto dari kursi terhormatnya.

Makassar, 17 Desember 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline