Lihat ke Halaman Asli

International People’s Tribunal 1965

Diperbarui: 19 November 2015   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: International People's Tribunal Media/Public Domain/Flickr"][/caption]

Peristiwa keji 1965 yang dilakukan sekelompok orang yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), diwariskan sejarah dan mengendap secara kuat dalam benak warga bangsa ini. Namun bertepatan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2015, di Den Haag, Belanda, sejak hari itu hingga 13 November 2015, sebaliknya terjadi. Pastinya pemerintah Belanda tak ikut terlibat, tapi di sana pemerintah Indonesia “diadili” terkait peristiwa PKI 1965.

Di Den Haag, digelar Pengadilan Rakyat terhadap kejahatan kemanusiaan di Indonesia 1965 (International People’s Tribunal 1965). Ada tujuh hakim berlatar akademisi, praktisi hukum, penggiat HAM, termasuk mantan hakim mahkamah kriminal internasional untuk Yugoslavia, menguji alat bukti berupa keterangan 16 orang saksi di peristiwa 1965, serta data-data hasil penelitian yang disusun sejumlah pakar dan peneliti manca negara tentang peristiwa 1965.

Pada pengadilan kasus yang selama 50 tahun tidak pernah diakui pemerintah Indonesia itu, diajukan sembilan dakwaan yang diuji oleh panel hakim itu. Antara lain terkait pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965. Adapun yang duduk sebagai terdakwa adalah Indonesia selaku negara, khususnya Presiden Soeharto dan angkatan bersenjata di bawah Jenderal, beserta milisinya.

Ketua Jaksa Penuntut, penggiat HAM Indonesia, Todung Mulya Lubis mengurai bahwa pasca pembunuhan enam jenderal dan satu letnan pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965 oleh Gerakan 30 September, kampanye pemusnahan orang dan organisasi yang terkait PKI, dilancarkan pemerintah Indonesia. Kampanye tersebut berupa propaganda kebencian pada mereka yang diasosiasikan PKI yang ateis, tak bermoral, anti Pancasila dan hiperseksual.

Akibat propaganda itu, mereka yang diduga anggota dan simpatisan PKI, dimusnahkan dan identitas mereka dihancurkan. Sementara para korban yang berhasil bertahan dan selamat, sampai sekarang dibebani stigma sejarah yang dilancarkan pemerintah Indonesia. Putusan pengadilan IPT 1965, menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas akibat itu, seperti pembunuhan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa.

Namun apapun putusan diambil International People’s Tribunal 1965 itu, tetaplah putusan yang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Proses peradilan itu tetaplah sebatas “Pengadilan Rakyat”, bukan pengadilan seperti lembaga ICC (International Crmininal Court) di PPB. Tapi sekalipun tak mengikat, putusan “Pengadilan rakyat” itu memperkuat advokasi HAM Indonesia di level internasional, sehingga pemerintah Indonesia mesti meresponnya.

Tapi merespon putusan itu, pemerintah Indonesia tidak mesti melakukan dengan cara minta ma’af, sebagaimana diharap, sekalipun meminta ma’af itu bukan pada PKI tapi pada korban. Sebab peristiwa 1965 tak bisa dilihat berdasar perspektif sekarang, tapi tetap pada konteks konfrontasi idiologi-politik di masa itu. Maka rekonsiliasi adalah jalan terbaik bisa ditempuh untuk mengungkap kebenaran, agar sejarah tak terbalik, seolah PKI ada di pihak yang benar.

Makassar, 19 November 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline