Lihat ke Halaman Asli

Target Pansus Pelindo II

Diperbarui: 5 November 2015   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo: KOMPAS/RODERICK ADRIAN MOZES"][/caption]

Pada akhirnya, Anggota DPR-RI benar-benar bersepakat membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut dugaan penyimpangan yang terjadi di Pelindo II. Pansus ini fokus pada dua soal, pertama pada soal pengadaan mobil crane, dan yang kedua soal perpanjangan kontrak pengelolaan Terminal Peti Kemas JICT (Jakarta International Container Terminal) pelabuhan Tanjung Priok kepada perusahaan asing asal Hongkong, yakni PT Hucthison Port Holdings.

Soal pertama, pengadaan mobil crane. BPK mulanya menemukan adanya kekeliruan dalam proses pengadaan alat derek di pelabuhan Tanjung Priuk itu, namun setelah BPK melakukan pencermatan mendalam, BPK akhinya menyimpulkan bahwa kekeliruan yang terjadi murni semata hanya karena kesalahan administrasi yang tidak merugikan negara. Tapi Bareskrim Polri, yang kala itu dikomandoi Budi Waseso, menyimpulkan adanya pelanggaran hukum.

Sementara pada soal yang kedua, perpanjangan konsesi pengelolaan Terminal Peti Kemas di Tanjung Priok dari PT Pelindo II kepada PT Hucthison Port Holdings tahun 2014. Kedua pihak bersepakat melakukan perpanjangan kontrak, hingga tahun 2039. Perpanjangan kontrak itu yang dilakukan mendadak itu, hanya dihargai USD 215 juta, nilainya lebih kecil dari kontrak sebelumnya pada 1999, yang mencapai USD 243 juta. Terindikasi adanya kerugian Negara.

Selain itu, perpanjangan kontrak dilakukan secara diam-diam tanpa persetujuan komisaris. Terlebih lagi dianggap tidak sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Tapi di depan Pansus, Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino berdalih bahwa perpanjangan kontrak yang dilakukan telah mendapatkan “fatwa” dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), sebagai pijakan hukum.

Namun dalih disampaikan Richard Joost Lino, ditepis Anggota Pansus Pelindo dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, bahwa fatwa Kejaksaan Agung itu, hanyalah klaim sepihak PT Pelindo. Menurutnya apa yang disebut “fatwa” oleh R.J. Lino itu, hanya bersifat opini Jamdatun saja, hanya terpaku mensandarkannya semata pada KUHPerdata, lalu mengabaikan UU 17/2008 yang lebih bersifat lex specialis untuk dijadikan pijakan opini sebenarnya oleh Jamdatun.

Bedasar dalih yang disampaikan Richard Joost Lino, Pansus berniat memanggil Jaksa Agung guna menjelaskan fatwa dimaksud. Selain itu, pansus juga memanggil Menko Kemaritiman, Rizal Ramli, guna menjelaskan soal sebenarnya terjadi di Pelindo. Depan Pansus, Rizal Ramli menegaskan bahwa Direktur Utama PT Pelindo II, tak akan seberani itu mengambil tindakan di luar mekanisme jika tak memiliki “backing”. Tudingan backing mengarah pada Jusuf Kalla.

Namun sebelum Pansus bertindak jauh, sejumlah pengamat menilai pansus sudah tidak lagi objektif. Pakar politik UI, Agung Suprio, menilai bahwa urusan hukum Pelindo telah diseret ke urusan politik. Makanya ia menyarankan agar urusan Pelindo diserahkan saja ke penegak hukum. Sebab jika tetap berada di pansus yang dimotori politisi PDI-P itu, di ujungnya bakal membongkar kisruh BUMN. Targetnya bakal melengserkan Menko BUMN, Rini Soemarno.

Malili-Luwu Timur, 04 November 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline