Lihat ke Halaman Asli

Kisah Koteka dan Sarung

Diperbarui: 10 Agustus 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo: Tribunnews.com"][/caption]

Sepekan lalu saya membaca pemberitaan di koran dan menyaksikan lewat layar tivi, ketika Presiden RI, Jokowi, menghadiri pembukaan Mukhtamar Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur. Sontak mengingatkan saya pada satu kisah “anekdot” yang pernah diceritakan sejumlah teman pada saya. Yakni kisah kekeliruan koordinasi antara tim protokol Presiden RI dan Pemda Irian Jaya (Papua), ketika Pak Harto pertama kali berkunjung ke Tanah Papua.

Anekdot itu mengisahkan, bahwa di atas pesawat menuju Papua, para tim protokol presiden mengambil kata mufakat bahwa demi menghargai tradisi masyarakat Papua yang dikunjungi presiden, maka mereka mengharap sekiranya Pak Harto melucuti pakaian formal digunakan untuk berganti dengan pakaian khas masyarakat papua, termasuk pakaian penutup kelamin, koteka. Pak Harto tak menampik usul bawahannya, dirinya pun berganti busana khas Papua.

Ketika pesawat ditumpangi presiden dan rombongan mendarat di Tanah Papua, Pak Harto segera menuruni anak tangga pesawat. Tapi alangkah terkejutnya melihat ribuan orang yang menjemput, baik pejabat pemda maupun masyarakat Papua umumnya, seluruhnya datang dengan pakaian serba rapi, bahkan sekian diantaranya berpakaian jas lengkap. Pakaian khas masyarakat Papua yang selama ini mereka kenakan, sementara waktu mereka tanggalkan.

Apa musabab masyarakat Papua tiba-tiba berpakaian rapi dan menanggalkan busana khas mereka, tak lain karena mereka sejak mula telah bermufakat bahwa demi menghormati Pak Harto yang kali itu adalah kali pertama mengunjungi Tanah Papua, mereka menyambutnya dengan pakaian yang serba rapi, bahkan formal. Mereka mengikuti pandangan orang-orang luar Papua, bahwa pakaian khas mereka dinilai kurang sopan menyambut seorang presiden.

Akibat kekeliruan koordinasi, maka di hari itu terjadilah pemandangan yang serba kontras. Pak Harto datang ke Papua dengan pakaian khas masyarakat Papua, juga memakai koteka, sementara ratusan masyarakat Papua yang menyambutnya di Papua, sebaliknya berpakaian rapi dan formal. Tentu saja menjadi sebuah tontonan yang menarik dan serba lucu. Tetapi kisah ini bukanlah kisah yang benar-benar nyata. Semata hanyalah anekdot. Sekadar joke.

Kisah anekdot tentang Pak Harto itu, tiba-tiba saja menggeliat ulang di benak saya ketika menyaksikan Presiden RI, Jokowi, menghadiri acara pembukaan Mukhtamar NU di Jombang dengan berpakaian jas dibalut sarung berwarna merah. Ribuan warga NU yang akrab dikenal kaum sarungan, justru sebaliknya berpakaian rapi. Berbaju batik dan jas lengkap. Hanya Gus Mus saja yang berpakaian sarung. Akibatnya, sarung Jokowi, ramai jadi guyonan hadirin.

Demikian dua kisah diantara dua Presiden RI berbeda dengan dua peristiwa berbeda. Meski satunya sebatas anekdot, tetapi satunya lagi menjadi kisah yang benar-benar nyata. Satunya menjadi lucu-lucuan akibat kekeliruan koordinasi, tapi satunya lagi justru mendapat simpati banyak orang. Sebaliknya, warga NU dicaci di media sosial karena menjauhi tradisi sarungan. Tapi entah apa, di benak saya tetap saja menilai kedua kisah presiden itu sebagai anekdot.

Makassar, 9 Agustus 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline