Lihat ke Halaman Asli

Catatan Tercecer Pasca Pilpres 2014 (7)

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1405637742934027887

[caption id="attachment_315849" align="alignleft" width="640" caption="sumber: karikaturgambar.blogspot.com"][/caption]

Pilpres dan Kegenitan Kaum Intelektual

Dalam dunia persepakbolaan, antara keinginan penonton satu sisi, serta keinginan pemain pada sisi lain, memiliki tautan prinsip berbeda. Penonton menginginkan suguhan permainan indah dan memukau, sementara pemain berjibaku mengerahkan seluruh potensi dimiliki, tak lain maksudnya semata berharap memenangi pertandingan. Sekalipun bernama permainan, tapi tidak berarti seluruhnya permainan. Ada dua kubu kesebelasan yang saling berhadapan, kelak mengubahnya menjadi pertandingan. Ada yang kalah, pasti ada yang jadi pemenang.

Penonton yang sekalipun tak ikut berjibaku di lapangan --- tetap berada di luar area permainan --- tetapi sebagai manusia waras dan normal, terasa betapa beratnya menjauhkan diri dari subjektifitas pemihakan, pada kesebelasan mana diharap memenangi pertandingan. Jika tiba pada batas itu, urusan keunggulan intelektual dan ketangguhan moral, sadar atau tidak, akan terseret-seret membayangi pemihakan. Walaupun dalih, argumen dan logika akademis yang jumud menjadi perisai. Tapi itulah esensi kemanusiaan sejak mula lahir.

Kira-kira hingga sebatas itulah ketololan saya menyaksikan tontonan “kegenitan” sejumlah intelektual “menghadapi” Pilpres 2014. Istilah “menghadapi” (dengan tanda petik) entah sebatas pengamat, penikmat, atau terlanjur terlibat jauh menjadi pemain, tetap saja sebagai manusia normal yang waras. Tetapi ketika kegenitan mulai menggoda, terkadang lupa diri lalu berbegas masuk ke area lapangan, ikut terlibat menjadi pemain. Akibatnya melupakan prinsip yang harusnya mereka anut; ilmu tak memiliki batas, tak ada kebenaran final dan mutlak.

Quick Count yang berbasis ilmu statistik sekalipun, tetap saja produk keilmuan yang berada pada rana yang tidak memiliki kebenaran mutlak. Maka sejatinya, tak perlu ada pihak yang berhak pada klaim paling benar, yang lain keliru total. Biarlah berdialektik di area penonton agar kelak membawa pencerdasan baru. Quick qount boleh konsisten pada kaidah keilmuan, tetapi moral pelakunya, tak ada yang bisa menjamin, apakah tetap pada posisi penonton, atau telah berada di area lapangan sebagai pemain. Itulah anomali kegenitan intelektual.

DR. Rocky Gerung (dosen filsafat UI) menampilkan tontonan indah, saat kemarin melakukan aksi “walk out” dalam diskusi lembaga survey di Universitas Paramadina Jakarta. Ia merasa salah forum, diskusi para akademisi yang tidak akademik. Permainan masih berlangsung, peluit panjang belum ditiup, jangan jadi pecundang. Memaksa pihak lain keluar lapangan sebelum laga berakhir. Jerman mengalahkan Argentina di laga final Fifa World Cup 2014, dalam area pertarungan panjang yang berimbang. Gol kemenangan dihasilkan justru saat injury time.

Makassar, 18 Juli 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline