Lihat ke Halaman Asli

Catatan Tercecer Pasca Pilpres 2014 (8)

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1405985222505880938

[caption id="attachment_316354" align="alignnone" width="640" caption="Sumber photo: Jurnal3.com"][/caption]

Ada  yang Kalah (Tentu) Ada yang Menang

Hari ini, Selasa, 22 Juli 2014, KPU sebagai “wasit”, akan merampungkan rekapitulasi suara Pilpres 2014, berdasar akumulasi suara rakyat yang disampaikan di 479.183 bilik TPS (dalam dan luar negeri) di hari Rabu, 9 Juli 2014 lalu. Berdasar akumulasi suara di KPU itulah yang kelak kemudian akan menentukan siapakah gerangan salah satu di antara dua pasang Capres dan Cawapres (Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK) yang meraih suara tertinggi, sekaligus awal penentu kemenangan peraih mandat rakyat untuk menakhodai Republik Indonesia --- yang kita cintai --- selama lima tahun ke depan. Tentu juga penentu pasangan yang akan kalah.

Walaupun sebenarnya saya tidak menyenangi penggunaan kata “menang” ataupun “kalah”, tapi itulah keniscayaan yang harus terjadi. Itulah konsekuensi hasil akhir dari sebuah proses pertarungan. Memasuki arena pertarungan, ujung akhir bakal dihasilkan, ada yang menang dan tentu ada yang kalah. Tak mungkin ada pemenang tanpa ada pihak yang terkalahkan, atau sebaliknya tak mungkin ada pihak terkalahkan tanpa ada pihak pemenang. Namun keduanya tidak mungkin ada tanpa ada proses pertarungan dilalui. Siapa yang berani memasuki arena pertarungan, dua konsekuansi ditanggung. Meraih kemenangan atau merengkuh kekalahan.

Orang-orang bijak selalu berpetuah, “Jika takut menghadapi kekalahan, jangan pernah coba memasuki arena pertarungan. Tapi juga jangan pernah berharap meraih kemenangan, kalau takut memasuki arena pertarungan”. Petuah bijak seperti ini, sekaligus mengingatkan bahwa prestasi hidup sebagai pemenang hanya bisa didapatkan jika ada keberanian untuk melaluinya lewat proses pertarungan. Artinya bahwa untuk menjadi pemenang, bukan perkara mudah. Memerlukan banyak prasyarat yang memang tak mudah. Salah satu prasyarat paling urgen, adanya kesediaan mental menerima kekalahan. Sekalipun dengan syarat.

Kesediaan mental menerima kekalahan, juga memang bukan perkara mudah. Bagi mereka yang tidak sedang menghadapi, menganggapnya sepele. Padahal menerimanya tidak semudah mengucapkannya. Sungguh memerlukan pula banyak prasyarat. Prasyarat yang berada tidak di rana logika, tapi sebanyak-banyaknya berada pada rana rasa. Itu sebabnya hasil dari sebuah proses pertarungan memiliki nilai sensitifitas tinggi. Makanya jangan dipandang sepele. Itu juga sebabnya sehingga saya tidak menyenangi kata “menang” atau “kalah”. Pilpres 2014, bukan perkara siapa menang dan siapa kalah, tapi siapa yang dapat, siapa yang belum dapat.

Makassar, 22 Juli 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline