Lihat ke Halaman Asli

Pilpres 2014: Pertarungan Berujung Antiklimaks

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14089188101445888162

Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/8/2014), saat membacakan amar putusannya terhadap sengketa hasil Pilpres 2014, patut untuk dicatat dalam lembaran sejarah negeri ini sebagai hari yang menegangkan, bahkan mungkin hari yang mencekam. Jauh hari sebelumnya, banyak pihak telah menyimpan curiga bahwa jika seandainya permohonan gugatan Prabowo-Hatta ditolak MK, maka Prabowo tidak akan bakalan mau menerima putusan tersebut. Bahkan kecurigaan seperti itu ikut dilebih-lebihkan bakal melakukan kerusuhan besar.

Akibat kecurigaan yang terlanjur berlebihan, maka hari itu, sekian ruas jalan di kota Jakarta terlihat lengang. Para pekerja dan pegawai kantor dipulangkan sebelum waktunya. Penduduk Jakarta memilih berdiam diri di rumah. Personil dan persenjataan dimiliki negara yang dikuasai TNI/Polri secara maksimal dikeluarkan dan di siagakan penuh di sejumlah tempat strategis dan fasilitas umum. Rumah pribadi Jokowi di Solo serta rumah pribadi Jusuf Kalla di Makassar ikut dikawal ketat personil bersenjata laras panjang.

Di bawah "ancaman" massa pendukung Prabowo-Hatta, MK akhirnya memutuskan menolak seluruh gugatan yang dimohonkan pasangan Prabowo-Hatta. Putusan MK kian mempertegas keabsahan Surat Keputusan KPU Nomor: 535/Kpts/Tahun 2014, tanggal 22 Juli 2014 tentang pengsahan rekapitulasi suara nasional Pilpres 2014 dan penetapan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang. Putusan MK --- secara tidak langsung --- ikut "membenarkan" hasil raihan quick count sejumlah lembaga survey politik yang mengunggulkan pasangan Jokowi-JK.

Pasangan Prabowo-Hatta sebagai pesaing, beserta mitra koalisinya yang terkalahkan, secara terbuka menyatakan menghormati putusan MK. Selain melalui juru bicara dan mitra koalisi pengusungnya, Prabowo pun melalui akun Facebook miliknya, (21/8/2014) menuliskan kalimat yang ditujukan kepada para pendukungnya, bahwa "..... Walau tidak mencerminkan keadilan substantif, keputusan Mahkamah Konstitusi harus kita hormati......"Sikap legowo Prabowo, sontak melegakan perasaan semua orang, baik pendukungnya maupun yang bukan.

Kenyataan terjadi berbicara lain. Pilpres 2014 berakhir dengan anti-klimaks. Jauh berbeda dari yang terbayangkan dari kecurigaan sebelumnya. Prabowo-Hatta dipaksa "buang handuk" sebelum tahapan pertandingan usai. Ketika lembaga survey politik menampilkan data kekalahan Prabowo-Hatta, banyak pihak menulis surat untuk memaksanya mengakui kekalahan padahal KPU belum mengambil keputusan. Terlebih lagi saat Prabowo-Hatta tidak menerima putusan KPU dan memilih menggugat di jalur MK, sungguh cacian padanya sangat berlebihan.

Salah satu sebab kesemua kenyataan seperti itu terjadi, Mahfud MD dalam opininya (Koran Sindo, 1/8/2014) menuding karena pers mengeroyok Prabowo. Masyarakat banyak menerima informasi yang keliru dan menyimpang dari sebenarnya. Sungguh tidaklah fair Ketika Prabowo-Hatta tidak menerima kekalahan berdasar hasil quick qount, juga tidak menerima hasil putusan KPU, lalu memilih menempuh jalur MK, dianggap suatu sikap dan tindakan yang keliru, bahkan dianggap perbuatan tercela. Padahal senyatanya, tidak ada satupun aturan yang terlanggarkan.

Tapi itulah konsekuensi, sebagai suatu keniscayaan yang tak mungkin bisa dielakkan dari arena pertarungan politik. Bahwa pertarungan politik tak bisa dipisahkan dari keutamaan bangunan manajemen issu. Padahal sejatinya, siapapun kita, dimanapun, atau entah pertarungan apapun dihadapi, pihak yang sementara berada di posisi kalah, tentu akan berdaya upaya menggunakan seluruh potensi tersisa dimiliki untuk memanfaatkan celah peluang yang tersisa agar keajabaian segera datang untuk membalikkan keadaan yang sudah terjadi. Namanya usaha, tidak tercela.

Sepenggal kisah seperti itu, baru saja kita lewati. Pilpres 2014 telah memberikan banyak sarana pembelajaran tentang dinamika pertarungan politik, dimana ke depan tak ada habis-habisnya bakal kita dan negeri ini menghadapi. Entah sekian ratus kali di negeri ini telah dilaksanakan Pilkada, juga Pilkades. Dan entah seberapa ribu kali lagi negeri ini bakal menunaikannya lagi. Kalau seandainya keseluruhannya dijadikan ajang saling mencaci, bahkan saling melukai, lalu untuk apakah demokrasi ditunaikan?. Kita berharap seluruhnya berujung anti-klimaks.

Makassar, 25 Agustus 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline