Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), yakni pada 13 Agustus 2003, atau empat hari sebelum Hari Ulang Tahun (HUT) ke-58 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
MEGAWATI Soekarnoputri menjadi kepala negara pertama di dunia pada abad ke-21, yang mampu "melahirkan" sebuah lembaga tinggi negara bernamaDi eranya, Presiden kelima RI itu sekaligus mencatatkan Indonesia di dunia sebagai negara ke-78 yang resmi membentuk Mahkamah Konstitusi (MK), yang didahului dengan proses pembahasan panjang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga akhirnya, RUU itu pun disepakati dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, pada Rabu 13 Agustus 2003.
Dan sebagai bentuk keseriusan yang besar tentang pentingnya meninggikan kualitas ketatanegaraan RI, Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari itu juga, langsung menandatangani undang-undang tersebut dengan nama Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Lahirnya MK tentu bukan hal yang gampang dan tidaklah serta merta dapat diwujudkan. Jika menengok waktu jauh ke belakang, diketahui ada ide pertama yang tercetus dari Muhammad Yamin dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, di Gedung Pancasila yang dahulu bernama Tyuoo Sangi-In, di Jalan Hertogspark (kini Jalan Taman Pejambon) Nomor 6, Jakarta Pusat.
Kala itu, di dalam sidang BPUPKI yang digelar secara maraton dua kali sidang dari tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 dengan agenda utama membahas dasar negara dan bentuk negara, Muhammad Yamin mengusulkan agar Mahkamah Agung (ketika itu bernama Balai Agung), sebaiknya diberi wewenang judicial review (membanding undang-undang atau pengujian yudisial) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Namun Soepomo selaku salah seorang anggota Sidang BPUPKI kala itu menyatakan menolak usulan Muhammad Yamin.
Selain karena Indonesia (ketika itu) belum memiliki pakar hukum yang berpengalaman dalam menangani pengujian undang-undang terhadap UUD, Soepomo juga mengemukakan sejumlah alasan lain. Yakni pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang; dan ketiga, hakim tak bisa diberi kewenangan melakukan pengujian undang-undang karena bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sehingga ide Muhammad Yamin itu pun gagal dimasukkan dalam UUD 1945.
Meski usulannya mendapat penolakan, namun cetusan ide Muhammad Yamin tersebut seolah "terembriogenesis" dari masa ke masa, bahkan makin menguat. Hingga pada akhirnya, usulan Muhammad Yamin itu pun mendapat momentum tepat melalui perubahan (amendemen) Undang-Undang Dasar 1945 di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dari situ, pemerintah bersama DPR pun membahas lalu mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagai "tanda" lahirnya salah satu organ baru atau lembaga tinggi negara, bernama Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari sekelumit untaian sejarah lahirnya MK itu, tersirat dengan jelas adanya cita-cita luhur nan tulus dari negarawan yang terlibat langsung mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam melahirkan MK. Yakni, cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat yang harus dijalankan dengan undang-undang yang berpihak kepada kepentingan dan kemajuan bangsa ini, terutama tidak menabrak hak-hak asasi manusia dengan memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara, serta menjadi pelindung demokrasi. Olehnya itu, sejarah dan cita-cita yang melandasi lahirnya MK ini jangan sampai terlupakan, apalagi untuk dikhianati.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sambutannya saat membuka secara resmi Kongres ke-5 "The World Conference on Constitutional Justice (WCCJ)" atau Konferensi Badan Peradilan Konstitusi Sedunia, pada Rabu malam (5/10/2022) di Nusa Dua, Bali, bahkan menegaskan sejumlah hal penting di hadapan peserta yang berasal dari 95 negara dan 4 organisasi.
Ia menyebutkan, MKRI merupakan pilar utama dalam menegakkan constitutional justice yang merupakan elemen kunci dari demokrasi perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum.