Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

Ini Bahaya Pengpeng di Mata Pemenang Nobel Ekonomi

Diperbarui: 29 April 2016   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi/Abdul Muis Syam)

ISTILAH “Pengpeng” pertama kali diperkenalkan oleh Rizal Ramli. Ia adalah salah satu tokoh pergerakan perubahan yang memang sejak dulu dikenal sangat “gila”. Gila dalam arti, bahwa meski harus berhadapan dengan risiko seburuk apapun terhadap dirinya, ia selalu pantang menyerah dan tetap melakukan perlawanan kepada pemerintahan yang dinilainya otoriter. Termasuk ketika ia dengan sangat keras memperjuangkan hak-hak dan menuntut keadilan untuk rakyat, ia malah harus dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Orde Baru.

Dan kini, perjuangan Rizal Ramli itupun tidak harus terputus meski telah berada dalam pemerintahan. Justru ia sadar, bahwa posisinya di dalam pemerintahan saat ini adalah kesempatan untuk benar-benar ingin membantu Presiden Jokowi dalam mewujudkan Trisakti dan Nawacita, yang sekaligus juga merupakan cita-cita seluruh bangsa di negeri ini.

Tetapi Rizal Ramli melihat sangat mustahil Presiden Jokowi bisa mewujudkan cita-cita tersebut apabila “tradisi” buruk era Orde Baru masih saja leluasa dilaksanakan di era reformasi seperti saat ini.

Dan “tradisi” buruk yang dimaksud, misalnya, cara-cara otoriter (sok berkuasa sendiri dan sewenang-wenang), yakni dengan salah satunya memanfaatkan jabatan sebagai alat untuk makin memperkaya diri dan kelompoknya saja, --di mana pada ujung-ujungnya dari tradisi buruk ini adalah hanya menimbulkan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) secara berjamaah.

Di sini rakyat Indonesia seharusnya segera sadar, bahwa di situlah titik dan pusat masalah yang sesungguhnya di negeri ini, karena dengan masalah itu pula yang membuat negeri ini makin dipenuhi oleh mafia-mafia. Sebab, yang memicu munculnya masalah-masalah tersebut, tak lain dan tak bukan adalah karena adanya “pergerakan serakah” dari pengUSAHA yang rangkap sebagai pengUASA, dan ini persis seperti yang digeluti oleh penguasa rezim Orde Baru.

Dan meski “pergerakan serakah” Orde Baru dengan era Reformasi ada perbedaan, namun tujuannya tetap sama, yakni sama-sama ingin memperkaya diri (keluarga) dan kelompoknya. Bedanya, Soeharto jadi penguasa dulu lalu menjadi pengusaha. Sekarang (di era Reformasi), menjadi pengusaha dulu lalu selanjutnya berusaha mati-matian menjadi Penguasa.

Terus-terang saya “sedih” dengan sebuah ketidak-adilan: Jika Presiden Soeharto bisa dilengserkan dengan salah satu alasan karena keluarganya sangat mendominasi dan telah mencampur-adukkan urusan bisnis dengan urusan negara, tetapi hari ini (di era Reformasi) mengapa justru alasan tersebut malah sangat leluasa kembali dipertontonkan? Mana keadilan dari rakyat (mahasiswa dan seluruh aktivis) memperlakukan rezim Soeharto dulu?

Sungguh, saya belum melihat keadilan itu diperjuangkan dengan serius, kecuali dari sosok yang bernama Rizal Ramli yang hingga kini masih konsisten menolak “tradisi-tradisi” buruk era Orde Baru tersebut, yang salah satunya ia dengan lantang meneriakkan menolak “dwifungsi Pengpeng”, yakni seseorang yang rangkap sebagai pengUSAHA-pengUASA.

Menurut Rizal Ramli, pengusaha itu adalah pekerjaan mulia, begitupun adanya dengan penguasa juga mulia. Tetapi itu akan menjadi bahaya yang sangat serius apabila keduanya disatu-padukan dan ditekuni di dalam lingkungan pemerintahan. Sebab, pemerintahan bukanlah perusahaan, begitupun perusahaan bukanlah pemerintahan. Dan jika ini tetap dipaksa untuk disatukan (dirangkap) maka rakyat yang pasti menjadi korban.

Sebetulnya bukan hanya Rizal Ramli yang menyadari bahaya Pengpeng. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sudah pernah menyampaikan pandangannya tentang bahaya Pengpeng.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline