Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

Apa Sebaiknya Dibentuk MKE, Biar Pejabat "Pengpeng" Seperti JK juga Bisa Segera Mundur?

Diperbarui: 29 Desember 2015   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


(Ilustrasi/Abdul Muis Syam)

SEPERTI diketahui, Setya Novanto (Setnov) akhirnya harus mundur dari jabatannya selaku Ketua DPR-RI. Setelah sebelumnya ia dilaporkan dan diseret ke dalam persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) oleh Menteri ESDM Sudirman Said, atas tudingan “papa minta saham” atau melakukan pertemuan secara diam-diam dengan PT. Freeport Indonesia dalam upaya mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok, di mana hal inilah yang dianggap tak etis.

“Lembaga” MKD yang sebelumnya tidak begitu dikenal oleh banyak kalangan, tiba-tiba menjadi tenar dan dipahami fungsinya.

Dalam kasus tersebut, Setnov benar-benar kelihatan tak berkutik. Sebab, dikabarkan ada Wapres JK yang “memainkannya”. Ditambah lagi dengan sejumlah media-massa, terutama salah satu stasiun TV swasta milik ketum sebuah parpol pendatang baru, secara terus-menerus “menghajar” Setnov (“anak emas” Aburizal Bakri) ini hingga “babak-belur”, lalu mengundurkan diri sebelum MKD memberi “amar-putusan”.

Pengunduran diri itupun sekaligus menunjukkan, bahwa kelompok Novanto dan Reza telah berhasil disingkirkan dalam “perang antar-geng”, yakni “persaingan” perebutan saham Freeport Mc Moran.

Mengamati kasus tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menduga, bahwa tidak hanya Setnov yang melakukan pelanggaran etik dan hukum. Tapi Sudirman Said (SS) selaku Menteri ESDM juga sama-sama melakukan pelanggaran etika dan hukum.

“Saya menduga Sudirman dan Novanto sama-sama melakukan kesalahan fatal,” ucap Mahfud dalam sebuah diskusi di salah satu TV swasta, di Jakarta, Selasa malam (1/12/2015).

Menurut Mahfud, kesalahan fatal yang dilakukan Sudirman Said dalam kapasitasnya selaku Menteri ESDM, adalah saat merespons surat PT Freeport Indonesia pada 7 Oktober 2015, yang isinya akan langsung memperpanjang kontrak PT Freeport begitu Undang-Undang Mineral dan Batubara direvisi.

“Artinya apa? Itu dia (SS) sudah menjamin akan merevisi, dan revisinya pasti memperpanjang. Padahal kalau dia bener, kalaupun harus kirim surat karena sopan santun, harusnya mengatakan akan diperpanjang kalau nanti Undang-Undangnya memungkinkan untuk itu. (Tapi) ini kan langsung menjamin. Selain melanggar hukum, (SS) juga melanggar etika pemerintahan,” tegas Mahfud.

Menggaris-bawahi pandangan Mahfud tentang SS yang juga dinilai melanggar hukum dan melanggar etika pemerintahan, maka akan adil kiranya jika di dalam lingkungan pemerintahan juga dapat dibentuk sebuah Mahkamah Kehormatan, misalnya bernama MKE (Mahkamah Kehormatan Eksekutif), yang para anggotanya dapat berasal dari kalangan pakar hukum (termasuk pakar hukum tata negara), ahli pemerintahan, akademisi, pegiat HAM dan anti-korupsi, atau kalangan mana saja yang dianggap punya kompetensi dan berkredibel.

Masalahnya seperti saat ini. Ketika menurut Mahfud dalam kasus Setnov tersebut juga telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh SS, lalu “lembaga” apa yang bisa langsung mengadili SS, seperti dengan mudahnya mengadili Setnov di MKD?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline