Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

Kisah Pemuda Lumpuh dan Jurus Rajawali Rizal Ramli Ngepret

Diperbarui: 10 November 2015   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


(Foto: Koleksi Abdul Muis Syam)

NURDEN adalah pemuda yang kini berusia 27 tahun. Ia lahir dan bermukim di Desa Krandegan, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Tetapi selama 14 tahun ini, Nurden hanya bisa melalui hari-harinya di dalam kamar berukuran 1,5 x 2,5 meter.

Sebab, saat usia 13 tahun, Nurden telah menderita sakit lumpuh seluruh badan. Dan sejak itu hingga sekarang, Nurden merasa hidup bagai burung yang sekarat di dalam sangkar.

Dari balik jendela kamarnya, Nurden hanya bisa terduduk lemas, menatap kesibukan teman-temannya dan orang-orang lain yang lalu-lalang dengan bebasnya.

Kelumpuhan yang dialami Nurden membuat masa-masa indah remajanya hilang. Perjalanan pendidikannya pun terpaksa kandas. Bahkan, pemuda yang lahir tepat pada hari Bhayangkara itu tak bisa lagi menggapai cita-citanya untuk dapat menjadi tentara atau seorang polisi. Hingga kesempatan untuk dapat membantu dan membahagiakan kedua orangtuanya pun hilang seketika.

Nurden sangat sedih dan merasa hanya menjadi beban dalam menjalani hidupnya. Sebab sebelum Nurden lumpuh, ekonomi kedua orangtuanya memang sudah tergolong lemah. Lalu ketika Nurden menderita kelumpuhan, ekonomi kedua orangtuanya pun ikut lumpuh dan tambah terpuruk. Sementara ayah Nurden, Fakhrurozi (77), hanya sebagai seorang petani yang harus menghidupi 5 orang anaknya.

Hati Nurden makin merasakan kesedihan karena tak tahan melihat pengorbanan kedua orangtuanya. Sejak awal terkena penyakit lumpuh, kedua orangtuanya telah membawanya ke rumah sakit Pekalongan. Sayangnya, pihak di rumah sakit ini mengarahkan agar Nurden dibawa ke Rumah Sakit Kardinah-Tegal.

Namun ketika itu di Rumah Sakit Kardinah, Nurden lagi-lagi dirujuk ke RSU Semarang. Namun orangtua Nurden terpaksa harus angkat tangan karena tak sanggup dengan besarnya biaya pengobatan di rumah sakit tersebut, meski telah menjual sawah-padi miliknya, sehingga Nurden pun terpaksa dibawa pulang kembali ke rumahnya, di Desa Krandegan.

Dan sejak itulah Nurden hanya mendapatkan pengobatan tradisional seadanya. Dan meski telah dilakukan secara maksimal, namun pengobatan secara tradisional itu samasekali tidak mendatangkan perubahan terhadap sakit yang diderita oleh Nurden. Ia dan orangtuanya pun pasrah, dan hanya bisa setiap hari berdoa kepada Tuhan. Apalagi ayah Nurden yang tadinya sebagai petani sawah-padi, kini hanya bisa menggarap kebun menanam singkong.

Kesedihan Nurden makin tak terbendung ketika melihat ibunya (Ibu Baeah, 75 tahun) yang setiap hari mengurus dirinya, tanpa lelah dan tanpa mengeluh sedikit pun. Pada usia tua seperti itu, menurut Nurden, ibunya seharusnya sudah lebih banyak istirahat dan menunggu bantuan dari anak-anaknya. “Tetapi sampai pada usiaku seperti ini saya tetap diurus oleh ibu yang sudah tua. Kasihan ibu..,” tutur Nurden.

Nurden bahkan mengaku pernah berkali-kali berpikir untuk bunuh diri. Untung saja pemikiran seperti itu buru-buru bisa disadari Nurden sebagai cara yang tidak dibenarkan oleh Tuhan. “Kalau saja bunuh diri bukan dosa, maka sudah saya lakukan. Lagi pula saya tidak ingin mati sebelum bisa membahagiakan kedua orangtuaku,” ujar Nurden.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline