Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

Kini “81% Masalah Indonesia” Jadi Tugas Rizal Ramli

Diperbarui: 21 Agustus 2015   01:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JIKA menengok sejarah, bangsa Indonesia sesungguhnya adalah negara Maritim yang sangat kuat karena menyimpan kekayaan yang amat melimpah. Para negara penjajah di zaman dahulu tahu persis, bahwa untuk menaklukkan Indonesia adalah hanya dengan menguasai wilayah Kemaritimannya.

Olehnya itu, para penjajah pun memunculkan "propaganda politik" dengan berusaha menggeser "kebudayaan" sekaligus mengalihkan kekuatan Indonesia sebagai bangsa Maritim menjadi bangsa Agraris.

Kemudian, upaya para penjajah itu pun nampaknya berhasil. Bangsa Indonesia yang awalnya bertumpu pada kekuatan sebagai bangsa Maritim, akhirnya berangsur-angsur berpola pikir dan menjelma sebagai bangsa Agraris dengan meninggalkan kekayaan yang menjadi kekuatannya sebagai bangsa Maritim, --hingga sekarang.

Padahal, sejarah membuktikan. Bahwa Nusantara pada masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Indonesia adalah negara maritim yang amat kuat. Bahkan, Sriwijaya (683-1030 M) telah menanamkan kebijakan pemerintahannya pada penguasaan alur pelayaran, jalur perdagangan, serta memiliki wilayah-wilayah strategis sebagai pangkalan kekuatan laut.

Juga, nakhoda Nusantara di bawah kendali Kertanegara berhasil membuka kejayaan maritim yang besar dan kuat dengan konsepsi "Cakrawala Mandala Dwipantara". Konsep besar pun terwujud pada 1375 saat Kerajaan Majapahit lahir di bawah panji Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada.

Sampai itu, Presiden Soekarno pada masa pemerintahannya sangat bertekad untuk kembali membangun Indonesia sebagai bangsa dan negara Maritim yang tangguh.

Luapan Soekarno untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara Maritim itu pun ditumpahkan dan dicanangkannya pada salah satu pidato pembukaan Institut Angkatan Laut (IAL), di Surabaya 1953.

"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal. Bukan! Tetapi bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi gelombang laut itu sendiri," demikian kutipan pidato Presiden Soekarno kala itu.

Beberapa tahun setelah pidato tersebut, Perdana Menteri Djuanda pun mengeluarkan sebuah deklarasi, yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda, pada 13 Desember 1957.

Di masa Hindia Belanda, atau sebelum dikeluarkannya Deklarasi Djuanda, laut-laut antara pulau dianggap sebagai perairan bebas. Artinya, seluruh sumberdaya kekayaan alam (termasuk ikan) dapat diambil secara bebas oleh siapa saja. Atau dengan kata lain, bebas melakukan segala hal dan apa saja di kawasan Maritim Indonesia.

Namun berkat Deklarasi Djuanda, luas perairan NKRI pun mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2, merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), maka luas perairan Maritim Indonesia adalah sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas wilayah Indonesia keseluruhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline