HAMPIR semua figur yang saat ini disebut-sebut akan maju bertarung dalam Pilpres 2014 mendatang, adalah sosok yang nampaknya masih mengandalkan fulus untuk memuluskan diri menjadi Capres 2014. Misalnya, dengan tak tanggung-tanggung mengeluarkan dan membelanjakan anggaran untuk beriklan di sejumlah stasiun televisi maupun di media cetak dan online, juga telah mencetak serta memasang alat peraga kampanye (seperti: baliho, spanduk, leaflet, stiker, baju kaos, dan lain sebagainya).
Sehingganya, meski figur yang bersangkutan sebenarnya tak layak menjadi seorang calon kepala negara, namun karena memiliki fulus yang berlimpah dan punya media massa (cetak atau elektronik), maka figur itu pun dengan gampangnya diformat sebagai sosok yang paling tepat untuk didukung dan dipilih sebagai presiden.
Parahnya, KPU dan Bawaslu juga melakukan pembiaran terhadap sosok-sosok tersebut yang telah terang-terangan "meminta" simpatik dan dukungan (alias kampanye) sebelum waktunya. Pertanyaannya, ada apa dengan media (stasiun TV), KPU dan Bawaslu yang telah memberikan keleluasaan kepada para sosok tersebut??? Apakah media (terutama televisi), KPU dan Bawaslu saat ini memang sengaja didirikan dan dijalankan adalah hanya untuk memperjuangkan kepentingan “majikannya” yang kebetulan saat ini juga sebagai “pemilik parpol” ??? Yang jelas, hal seperti ini sudah tidak sehat, sehingga “produk” yang dihasilkan oleh Pemilu pun nantinya sudah tidak sehat lagi. Dan itu pasti..!!!
Saya berani mengatakan, bahwa pelaksanaan Pemilu (termasuk Pemilukada) di negara kita sejauh ini nampaknya memang selalu dilakukan dengan cara-cara tidak sehat (alias curang). Mulai dari penyelenggaranya (KPU, DKPP, dan Bawaslu), seluruh pesertanya (parpol) hingga kepada aturan dan perundang-undangannya seakan semuanya hanya sebuah formalitas basa-basi yang mengatasnamakan demi rakyat. Padahal sesungguhnya semua itu adalah demi kepentingan dan kepuasan para majikan atau pemilik modal masing-masing. Sampai-sampai Mahkamah Konstitusi pun “rela menjadi hamba” para pemilik modal, yakni hanya memenangkan perkara pasangan Pemilukada yang mampu memberi fulus sebagai suap.
Sehingga itu, Pemilu selama ini sesungguhnya hanya bagai “ajang sekaligus kesempatan untuk membuka, memperluas dan menyuburkan bisnis para pemilik modal serta para pihak yang terkait di dalamnya saja”, bukan sebagai ajang atau momen untuk memunculkan pemimpin ideal demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dan sosok yang bisa muncul sebagai Capres karena latarbelakang seperti ini sudah pasti bukan Capres Plus, tetapi Capres Fulus yang di otaknya dipenuhi pikiran bulus untuk memuluskan kepentingan dan kepuasan kelompoknya saja.
Olehnya itu, rakyat harusnya sadar, bahwa yang disebut Capres fulus yang bulus itu adalah orang yang sangat ambisius ingin menjadi Presiden melalui cara-cara tidak sehat, termasuk dengan menggunakan dan memanfaatkan media miliknya maupun media lainnya untuk melakukan kampanye meski waktunya belum tiba. Dengan fulusnya, mereka beriklan di TV, membentuk barisan propaganda secara bergerilya di dunia maya, lalu menyewa lembaga survei agar kelihatan relevan dan sesuai dengan yang nampak. Sungguh sebuah permainan sulap (baca terbalik: Sulap=PALSU) yang penuh dengan pembodoh-bodohan dan sangat dipaksakan.
Capres fulus yang berotak bulus juga pernah digambarkan DR Rizal Ramli (RR1) sebagai “demokrasi prabayar”. Artinya, Capres seperti itu lebih mengandalkan fulus sebagai alat untuk membayar suara dari rakyat. Ada uang ada suara. Namun ketika capres tersebut telah terpilih, maka rakyat tidak mendapatkan apa-apa lagi. “Kan sudah dibayar,” ujar RR1 seraya menyerukan agar demokrasi prabayar seperti ini hendaknya rakyat dapat menghindarinya semaksimal mungkin.
RR1 mengungkapkan, Soekarno pernah mengatakan bahwa setelah merdeka, para kolonialis akan kembali berusaha menjajah Indonesia. Mereka tidak datang dengan tentara atau gubernur jenderal. Mereka akan menjajah lewat kebijakan ekonomi yang liberal. Sinyalemen Soekarno itu menjadi kenyataan. Kini kekuatan asing telah benar-benar kembali menjajah Indonesia melalui kekuatan modal mereka.
“Ini harus dihentikan sekarang juga. Ini pula yang membuat saya bermaksud menjadi Presiden. Saya yakin, dengan kehendak Allah dan bantuan seluruh rakyat, dalam lima tahun ke depan, Indonesia bisa kembali swasembada pangan. Indonesia bisa jadi negara maju, hebat, dan disegani di Asia,” ujar RR1 yang kini maju sebagai Capres melalui Konvensi Rakyat. Seperti dikutip warta-ekonomi.
Capres fulus yang bulus biasanya adalah capres dari kalangan parpol yang telah terlanjur keenakan menikmati hasil-hasil korupsi, dan mereka tak sudi memberi kesempatan sedikit pun kepada sosok “jujur” untuk maju sebagai capres, kalau perlu dihambat dengan berbagai cara, termasuk mungkin dengan somasi atau dengan menyeretnya ke proses hukum.
Kekuatan fulus capres ini pun diyakini sangat besar jumlahnya. Selain bisa bersumber dari hasil korupsi, juga dari “donatur” yang telah menjadi “jaringan” atau kelompok-kelompok pemodal yang sudah menjadi “sekutu” parpol mereka sejak dulu. Dan ketika Capres ini berhasil menang, maka hanya para donatur mereka itulah yang lebih banyak menikmati ekonomi (uang-uang negara) secara terkendali dan aman selama 5 tahun. Untuk rakyat…??? Ke gunung merapi aja, tunggu letusan dan percikan dan hujan debu panas…???