[caption id="" align="alignnone" width="584" caption="Ilustrasi dialog publik"][/caption] DIALOG live, Quo Vadis Indonesia bertema: 'Bangkit Melawan Korupsi Sekarang Juga!', di TVRI Jakarta, Kamis malam (22/8/2013) tiba-tiba menjadi “hidup” dan cukup menarik. Yakni dengan adanya sebuah ungkapan yang menggambarkan tentang kondisi korupsi yang menggerogoti tubuh ibu pertiwi ini adalah ibarat ikan busuk, yang kerusakan (kebusukannya) dimulai dari bagian kepala, bukan dari ekornya.
"Saya yakin korupsi Rudi yang dibuka KPK cuma puncak atau ujung gunung es. Tidak tertutup kemungkinan korupsi di sektor ini melibatkan pejabat yang lebih tinggi lagi. Mereka antara lain para pejabat di Komisi Pengawas SKK Migas yang dikepalai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Bersihkan dulu ‘kepala ikannya’,” ujar Rizal Ramli yang tampil sebagai peserta dialog dalam acara Quo Vadis tersebut.
Dari ungkapan inilah membuat Todung Mulya Lubis sebagai pembawa acara pada dialog tersebut, membeberkan data temuan KPK terkait dengan BP Migas, pada tahun 2011 saja KPK sudah menemukan pengelolaan dana BP Migas sebesar Rp.152,4 Triliun yang tidak sesuai penempatannya. Ternyata setelah tubuh BP Migas berganti kulit menjadi SKK Migas, malah ulah dan “budaya” busuk itu tetap terulang lagi dengan tertangkap tangannya Kepala SKK Migas tersebut.
Sehingga Todung yang juga Pakar Hukum Senior itu pun melempar pertanyaan kepada Abraham Samad selaku Ketua KPK, yakni langkah-langkah apa yang perlu ditempuh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat menyelamatkan sektor yang “basah” tersebut.
Dalam penjelasannya, Abraham Samad pun mengemukakan, bahwa kali ini pihaknya sedang menerapkan konsep yang disebut pengintegrasian antara pendekatan refresif dan pendekatan pencegahan.Abraham mengakui, sejak zaman Orde Baru hingga saat ini sektor Migas adalah memang merupakan sektor yang paling banyak kebocoran-kebocoran dan penyimpangan-penyimpangan di dalamnya, yang tentunya ini telah sangat banyak merugikan negara.
“Oleh karena itu kita masuk dengan pendekatan seperti yang kita lakukan sekarang. Dan kemudian (tindakan) ini akan berlangsung terus, kita melakukan pendekatan penindakan yang refresif. Setelah pendekatan penindakan yang refresif berakhir, kita sudah bisa memastikan bahwa sudah clear, maka pada saat bersamaan sistem litbang kita akan bekerja untuk mengobservasi, mengamati bahwa sistem apa yang sebenarnya tidak benar di dalam sistem Migas kita,” kata Abraham.
Dari hasil observasi pengamatan nanti, katanya, tentunya akan menghasilkan kesimpulan yang selanjutnya akan disodorkan sebagai rekomendasi dari KPK yang di dalamnya terdapat beberapa item yang perlu menjadi perhatian untuk dibenahi. “Termasuk seperti yang tadi disampaikan Bung Rizal, regulasi kemudian infrastruktur kelembagaannya dan lain sebagainya. Itulah nanti yang akan kita rekomendasikan ke presiden,” ungkap Abraham.
Abraham pun mengaku amat prihatin yang jika diibaratkan suatu penyakit, maka korupsi di sektor Migas itu sudah sangat akut, dan sudah kronis. “Kalau dia kanker itu, ini luar biasa. Jadi stadium empat, dia harus dipotong, ga bisa lagi di ‘anu’ (diselamatkan apalagi dipertahankan). Oleh karena itu kita memerlukan waktu untuk melakukan pendekatan penindakan yang represif, dan setelah itu kita melakukan perbaikan sistem. Itulah yang kita sebut dengan pengintegrasian antara pendekatan penindakan dan pendekatan pencegah. Ini yang akan kita lakukan terhadap sektor Migas kita, karena kita ingin menyelamatkan sektor ini,” kata Abraham serius.
Sejauh ini, rakyat Indonesia sudah pasti menaruh harapan yang amat tinggi kepada KPK agar mampu membuktikan janji-janjinya, dan tidak ciut meski mengetahui bahwa tubuh ikan busuk yang ingin diamputasi tersebut adalah sebesar Ikan Hius dan Paus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H