MESKI Rizal Ramli (RR) dan orangtuanya berasal dari Padang, namun sejak berusia enam tahun, RR sudah terpaksa pindah ke rumah neneknya, Ny. Rahmah, di Bogor, karena kedua orangtua RR ketika itu telah meninggal dunia.
Ayah RR adalah seorang Wedana atau semacam asisten camat, dan mudah bergaul kepada siapa saja. Sedangkan ibu RR adalah seorang guru yang dikenal disiplin dalam menanamkan sikap moral dan intelektualitas yang tinggi.
“Ibu saya, Rabiah, meninggal lebih dulu saat saya masih berusia lima tahun. Setahun berikutnya bapak saya, Ramli,” ujar RR mengawali kisahnya yang membawa dirinya harus berada di tanah Jawa.
RR yang merupakan anak keempat itu mengisahkan, bahwa ibunya adalah termasuk wanita modern pada zaman itu, yakni di saat perempuan Padang masih jarang memakai sepeda, ibunya yang berpendidikan guru itu juga sudah memiliki sepeda sendiri.
Saat berusia 3 tahun, RR ternyata sudah bisa membaca. Dan itu, katanya, adalah berkat ibunya yang setiap saat mengajari dan membimbingnya mengenal huruf-huruf. “Ibu saya adalah seorang guru, jadi beliau mudah mengajari saya untuk cepat membaca. Dan bagi saya, pandai membaca adalah modal utama untuk bisa lebih baik,” cerita RR seraya menyebutkan bahwa saat di Bogor dirinya sudah membaca sangat banyak komik, cerita pendek dan buku-buku se-Bogor. Dan itu ditekuninya mulai duduk di SD Hutabarat Bogor, SMP 1 Bogor hingga SMA 2 Bogor.
Lebih jauh RR berkisah, ada 14 orang yang tinggal di rumah nenek Rahmah di Bogor, yakni kakak-kakak dan sepupu-sepupu. “Saya senang menemani nenek ketika ke pasar. Sehingga itu saya adalah cucu yang paling disayang oleh nenek. Meski nenek tak lancar membaca, namun setiap pagi para cucunya bergantian membacakan koran agar bisa mengetahui perkembangan zaman,” ujar RR.
Di lingkungan sekitarnya, nenek Rahmah dipandang sebagai tokoh perempuan yang tak mudah menyerah dan giat menjalankan usahanya. “Waktu itu punya usaha industri ayam negeri, ayam petelur ataupun ayam broiler, ayam potong. Semua cucunya membantu nenek, meski hasilnya tidak seberapa, namun lumayan masih bisa makan, dan bisa membiayai hidup,” kata RR.
Karena kegemarannya membaca sangat tinggi, yang pada masa itu jumlah buku di Bogor juga masih terbatas, RR pun saat masih duduk di bangku SMA menulis surat ke luar negeri agar bisa mendapatkan bantuan buku lebih banyak. Buku-buku yang ia (RR) dapat pun dimasukkan ke dalam perpustakaan Pemda Bogor.
Setelah berhasil lulus SMA, RR kemudian mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Fisika. Namun saat mendaftar, RR mengaku telah bertekad jika tidak diterima di ITB, maka dirinya tak ingin memaksakan diri untuk kuliah di tempat lain. Sebab, selain karena dirinya sudah yatim piatu, RR juga tak ingin membebani neneknya yang sudah memeliharanya sejak kecil hingga bisa menyelesaikan SD, SMP dan SMA.
Namun alhasil, RR dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di ITB. “Saya hampir putus asa, karena jujur, nenek saya sangat sulit membiayai saya lagi untuk kuliah. Tetapi saya sudah bekerja sebagai mandor percetakan di Kebayoran,” katanya.
Selama bekerja, RR mengaku setiap hari harus serba berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. “Makan pun saya harus ngirit.Hingga berhasil ngumpulin uang, saya pergi ke Bandung untuk membayar uang muka dan biaya kuliah. Saya memang menabung, tetapi sebagian harus dipakai untuk makan, setelah enam bulan uang saya habis, untuk makan saja nggak bisa. Akhirnya sempat enam bulan saya tidak mengikuti kuliah,” kenang RR.