Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

Salah Pilih Pacapres? Tidurlah Kembali, dan Usaplah Dada Perubahan di Alam Mimpimu!

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Anak terlantar

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Anak terlantar"][/caption] HASIL quick-count Pileg 2014 menunjukkan, bahwa tak satu pun parpol yang memenuhi presidential-threshold. Dan kondisi itu tentu saja membuat parpol papan atas dan menengah, mau tidak mau, harus membentuk koalisi jika ingin memajukan Pasangan Capres (Pacapres) pada Pilpres 9 Juli mendatang. Dan itu artinya, akan ada “perburuan” jatah jabatan melalui deal-deal politik secara gencar dari parpol menengah dan bawah kepada parpol papan atas (PDIP, Golkar, dan Gerindra). Dari situ, jika para parpol papan atas tidak sensitif dengan jeritan-jeritan rakyat miskin yang sudah lama terhimpit masalah ekonomi, pun hanya bermasa bodoh dengan tangisan ibu pertiwi yang telah tereksploitasi oleh negara-negara asing, dan hanya terbius dengan deal-deal politik yang sarat dengan kepentingan kelompok, maka parpol papan atas tersebut akan lebih cenderung berkoalisi dan menerima cawapres dari parpol menengah asalkan bisa menyediakan ongkos politik pada kampanye Pilpres, paling tidak sebesar 60%, meski cawapres yang diajukan tersebut mungkin jelas-jelas adalah sosok yang tidak bisa menjawab atau mengatasi persoalan di negeri ini. Dan jika kondisi koalisi seperti itu yang berhasil terbangun untuk Pilpres 2014 ini, maka mari kita ucapkan: “Innalillahi wa innailaihi rojium.. selamat datang kembali di negeri dongeng... dan tidurlah kembali wahai rakyat miskin serta anak-anak terlantar di atas pusara sang harapanmu, dan peluklah adikmu, lalu usaplah dada perubahan di alam mimpinya”. Menyadari permasalah bangsa dan negara kita sejak dulu hingga kini selalu saja tidak bisa teratasi, secara substansial itu karena di setiap Pemilu, pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang dilahirkan selalu saja adalah berdasar dari hasil koalisi, dan bukan didasari keahlian dan kredibilitas atas persoalan yang sedang melilit bangsa dan negara, yakni masalah yang berorientasi pada kedaulatan ekonomi rakyat. Artinya, Rakyat Indonesia betapa sangat tidak menghendaki lahirnya pasangan pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang tidak ideal dalam mengatasi persoalan bangsa. Yakni pasangan pemimpin yang lahir HANYA dengan berdasar dari hasil hitung-hitungan kemenangan yang dikemas dalam istilah koalisi. Rakyat Indonesia saat ini, sebetulnya sangat mengharapkan lahirnya pemimpin negara pada pemilu 2014 kali ini adalah sepasang sosok yang benar-benar memiliki keahlian dan kredibilitas yang dinilai mampu menghidupkan kedaulatan ekonomi di negeri ini, tentu saja ditunjang dengan bobot integritas yang tinggi. Sebab, persoalan utama yang sangat mendasar bagi bangsa kita saat ini, adalah masalah ekonomi. Ketidakmampuan pemimpin dalam menata dan membangun ekonomi bangsa, dipastikan akan memicu timbulnya persoalan hukum dan kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Padahal kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Indonesia sungguh sangat melimpah. Namun ketika pemimpin yang kita lahirkan ternyata tidak ideal serta tidak punya keahlian mengelola dan menata perekonomian negara kita,  maka pemimpin tersebut hanya pandai melakukan beberapa kegemaran, yakni di antaranya adalah: 1. Gemar “menjual dan menyerahkan” kekayaan alam kita kepada negara-negara asing, 2. Gemar menambah utang luar negeri. Sekadar info, Bank Indonesia (BI) mencatat total utang luar negeri per-Januari 2014 mencapai $269,27 Miliar (sekitar Rp. 3.000 Triliun lebih). Ke mana larinya utang ini, dan dinikmati oleh siapa..?? 3. Gemar melakukan impor. Tak tanggung-tanggung yang diimpor nyaris seluruh bahan kebutuhan pokok rakyat, yang sesungguhnya bisa dikelola dan disediakan sendiri oleh negara ini jika memiliki pemimpin yang ideal. 4. Gemar berjanji namun nyatanya ingkar (berbohong) kepada rakyat demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar untuk kelompoknya saja. Itulah empat “kepandaian” menonjol yang gemar dilakukan oleh para elit parpol di negara kita. Dan umumnya, empat kepandaian tersebut di atas bisa dengan mudahnya dilakukan oleh pemerintah yang hanya terbentuk atau didasari dari hasil koalisi dan deal-deal politik. Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kegemaran tersebut, maka rakyat pada pemilu kali ini harus benar-benar “ngotot” untuk hanya memilih pemimipin yang ideal. Namun seandainya tidak ada pasangan capres yang dinilai ideal, maka rakyat sebaiknya jangan memaksakan diri di saat ragu-ragu memberikan suara pada pilpres 2014 ini. Sebab pemimpin ideal yang kita butuhkan adalah sosok yang diyakini memiliki kredibilitas dan keahlian tinggi dalam menata dan mengelola kedaulatan ekonomi bangsa kita, bukan sosok yang jelas-jelas terkesan dipaksakan maju dalam Pilpres hanya karena popularitas dan uang. Sebagai bahan renungan bagi kita semua yang betapa sangat membutuhkan sosok pemimpin ideal (ahli dan tegas), adalah bahwa jika emas di Papua yang sedang dikelola oleh asing itu bisa dibagikan kepada 240 juta Rakyat Indonesia, maka akan bisa mendapat 3 ton perjiwa atau perorang (klik: sumber). Dan ini hanya bisa sedikitnya dilakukan oleh pemimpin ideal yang tidak gemar berbohong kepada rakyat. Dan sungguh, jika saja emas 3 ton itu benar-benar bisa terwujud, maka sangat dipastikan tidak ada lagi Rakyat Indonesia yang miskin, tidak ada lagi anak terlantar yang tidur di bawah kolong jembatan, juga di got atau di gorong-gorong kanal seperti pada gambar (foto) dalam bagian artikel ini. Namun jika pemimpin yang kita pilih nantinya dalam Pilpres 2014 hanya melihat PARTAINYA, dan hanya sekadar KAGUM kepada sosok pasangan capresnya, bukan didasari atas keahlian dan kredibilitasnya sebagai sosok yang ahli di bidang ekonomi, maka sekali lagi mari kita ucapkan: Itulah tiga “kepandaian” menonjol yang gemar dilakukan oleh negara kita karena tidak memiliki pemimpin ideal. Dan umumnya, tiga kepandaian tersebut bisa dengan mudah dilakukan oleh pemerintah yang hanya terbentuk atau didasari dari hasil koalisi dan deal-deal politik. Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kegemaran tersebut, rakyat pada pemilu kali ini harus benar-benar “ngotot” untuk hanya memilih pemimipin yang ideal. Yakni pemimpin yang punya kredibilitas dan keahlian tinggi dalam menata dan mengelola kedaulatan ekonomi bangsa kita. Sebagai bahan renungan untuk kita semua, bahwa jika emas di Papua yang sedang dikelola oleh asing itu bisa dibagikan kepada 240 juta Rakyat Indonesia, maka akan mendapat 3 ton perjiwa atau perorang (klik: sumber). Dan jika itu benar-benar terwujud, maka sangat dipastikan tidak ada lagi Rakyat Indonesia yang miskin, tidak ada lagi anak terlantar yang tidur di bawah kolong jembatan, juga di got atau di gorong-gorong kanal seperti pada gambar (foto) dalam bagian artikel ini. Namun jika pemimpin yang kita pilih nantinya dalam Pilpres 2014 hanya melihat PARTAINYA, dan hanya sekadar KAGUM kepada sosok pasangan capresnya, bukan didasari atas keahlian dan kredibilitasnya sebagai sosok yang ahli di bidang ekonomi, maka sekali lagi mari kita ucapkan: “Innalillahi wa innailaihi rojium.. selamat datang kembali di negeri dongeng... dan tidurlah kembali wahai rakyat miskin serta anak-anak terlantar di atas pusara sang harapanmu, dan peluklah adikmu, lalu usaplah dada perubahan di alam mimpinya”. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Anak terlantar."]

Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Anak terlantar.

[/caption] SALAM PERUBAHAN...!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline