Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

Cawapres PDIP Tak Cocok Dari Sosok Soldier, Trader, Older, and Politician

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ARTIKEL ini masih sebagai opini, masukan dan rangkaian saran dari saya buat seluruh parpol, terutama bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang Pileg 2014.

Bahwa  jika benar-benar PDIP ingin mendapatkan amanah dari rakyat sebagai pemenang Pilpres 2014, dan serius menjadi parpol “wong cilik” dengan sungguh-sungguh ingin mewujudkan perubahan yang pro-rakyat, maka pilihlah sosok Cawapres yang dengan jelas-jelas dinilai tegas dan cergas memperjuangkan ekonomi konstitusi. Bukan cawapres yang berasal dari “Soldier, Trader, Older, and Politician”.

Atau dengan kata lain, jika PDIP ingin mendapat kepercayaan dari “wong cilik” untuk memimpin negara ini, maka PDIP sebaiknya  menunjuk dan memilih sosok Cawapres  yang berasal dari “wong-cilik” pula. Yakni, sosok yang tidak berasal dari partai tetapi selama ini dinilai memiliki ketegasan dan kecergasan sejak dulu memperjuangkan ekonomi konstitusi.

Dan sebaiknya, bukan berasal dari kalangan Militer, Pedagang, Orang yang sudah sepuh, dan juga politikus (atau gembong politik). Yang kemudian ini saya sebut dengan istilah “STOP= Soldier, Trader, Older, and Politician”.

Mengenai "STOP" tersebut, silakan bisa menengok ke belakang sejenak untuk menganalisa dan mengambil pelajaran dari tiga “pengalaman buruk” yang sempat dialami oleh PDIP, baik ketika berada dalam pemerintahan maupun pada momen pergantian pemerintahan (Pilpres) di masa lalu.

“Pengalaman buruk” yang saya maksud itu, pertama adalah ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden didampingi seorang politisi (politician) Hamzah Haz sebagai Wapresnya, dinilai mandul.

Bahkan tidak sedikit pihak menyebut pemerintahan Mega-Hamzah hanya “berbuah rapor merah” yang ditandai dengan terjualnya sejumlah aset penting negara kala itu. Dan ini boleh dikata sebagai bukti mandulnya atau tidak adanya gagasan dan terobosan pengelolaan ekonomi negara secara positif.

“Pengalaman buruk” kedua, adalah ketika Megawati untuk pertama kalinya maju dalam pertarungan Pilpres 2004 mengalami kekalahan berpasangan dengan sosok yang sebenarnya memiliki massa riil yang melimpah, yakni Hasyim Muzadi. Di mana dalam perjalanan karir organisasi dan politiknya, Kiai yang lahir tahun 1944 ini pernah menjadi pimpinan PPP, menjadi anggota DPRD tingkat I dan II di Jawa Timur, serta ketika itu (Pilpres 2004) ia masih menjabat Ketua Umum PBNU (PBNU, basis organisasi lahirnya PKB). Sayangnya, Megawati di mata publik terlanjur dicap "gagal" ketika berpasangan dengan seorang politisi (Hamzah Haz).

Selanjutnya, “pengalaman buruk” ketiga adalah ketika Megawati untuk kedua kalinya maju pada Pipres 2009 sebagai Capres berpasangan dengan seorang Cawapres dari kalangan “soldier” (militer), lagi-lagi mengalami kekalahan.

Menurut saya, memilih Prabowo yang berasal dari kalangan militer sebagai Cawapres ketika itu boleh dikata adalah sebuah "kenekatan" atau kesalahan fatal dari PDIP.

Bukan karena “pribadi” Prabowo yang tengah berhadapan dengan masalah "kontroversial", tetapi saya lebih melihat karena adanya sosok militer yang juga maju dalam Pilpres 2009 tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline