[caption id="" align="alignnone" width="599" caption="Ilustrasi/Repro: Abdul Muis Syam"][/caption] DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu arti negarawan adalah: “Pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.” Pertanyaannya, masih adakah negarawan seperti yang didefinisikan dalam KBBI itu? Pada kondisi politik jelang Pemilu Presiden (Pilpres) seperti saat ini, pertanyaan tersebut sangatlah gampang dijawab. Di mana kewibawaan para pemimpin politik (ataupun politikus) di negara ini sudah nampak jatuh akibat lebih banyak mendahulukan kepentingan kelompok tertentu saja dengan cara-cara yang membuat negara jadi rugi. Dalam situasi seperti itu, tentu saja definisi negarawan juga mengalami pergeseran, bahwa tidak semua pemimpin politik dapat disebut seorang negarawan. Sehingga saat ini pun ada banyak definisi negarawan yang telah dikemukakan oleh berbagai pihak. Pergeseran definisi sekaligus membedakan mana yang disebut negarawan dan mana pemimpin politik, Dan definisi yang membedakan tersebut sebetulnya telah sejak dulu ditekankan oleh seorang Teolog dan Penulis Amerika, James Freeman Clarke (1810-1888). James Freeman Clarke mengemukakan perbedaan yang sangat mencolok antara politikus dengan negarawan. Ia mengatakan, bahwa: “Bedanya politikus dengan negarawan ialah, politikus memikirkan pemilihan/Pemilu yang akan datang (temporer). Sedangkan negarawan memikirkan generasi (nasib bangsa) yang akan datang. (setiap saat)” Bertolak dari situ, menurut saya, secara umum negarawan adalah seseorang yang memiliki sikap mental yang senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadinya sendiri secara bijaksana. Dan sikap mental seorang negarawan itu tidaklah dibatasi oleh kehendak kelompok politik tertentu. Dari pandangan James Freeman Clarke, serta dari definisi yang saya munculkan di atas, maka secara khusus saya pun kemudian berpandangan, bahwa negarawan sesungguhnya adalah pemimpin bijaksana (Wisely Leader), sedangkan pemimpin politik (atau politikus) lebih banyak bisa muncul sebagai pemimpin karena lebih banyak pula dipengaruhi oleh popularitasnya yang berhasil ia genjot (Popular Leader). Dan menurut saya, perbedaan Wisely-Leader dan Popular-Leader itu tentulah memiliki perbedaan yang juga amat mencolok. Yakni orientasi sikap Wisely-Leader cenderung mengendalikan situasi, dan dalam pergerakannya tidak untuk mencapai posisi (kekuasaan) yang lebih tinggi karena ia memiliki konsistensi terhadap visi-misi perjuangan yang dibangun sesuai kecekatannya. Sehingga itu, Wisely-Leader selalu tidak tertarik untuk terlibat dalam situasi dukung-mendukung (kubu-kubu) dalam setiap kegiatan politik secara ekstrem. Sebab ia sadar situasi seperti itu justru bisa mengubah cara berpikir dan mentalnya yang sebelumnya untuk bangsa menjadi mental yang hanya diperlihatkan hanya untuk keuntungan kelompok tertentu. Sementara Popular-Leader dalam setiap pergerakannya cenderung dikendalikan oleh situasi. Dan lebih banyak tindakannya adalah untuk mendapatkan penghargaan, popularitas dan posisi yang lebih baik serta demi keuntungan kelompoknya saja. Dan tipe kepemimpinan seperti ini selalu tertarik untuk terlibat dalam kegiatan di dunia politik, terutama dalam ajang Pemilu. Lalu siapa sosok mendekati dan yang mencerminkan definisi negarawan sekaligus dapat disebut sebagai Wisely-Leader sesuai dengan pandangan di atas? Memang ada beberpa tokoh nasional, namun yang sangat menonjol sebagai negarawan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DI Yogyakarta) dan Dr. Rizal Ramli (Mantan Menko Perekonomian). Karakter dan performa kedua tokoh nasional ini sangat elok dan patut dicontoh sebagai negarawan. Terlebih dalam menyikapi pertarungan politik pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 ini, keduanya sama sekali tidak ambisius. Padahal, kedua sosok ini adalah tokoh yang juga sebelumnya mendapat dukungan deras dari seluruh lapisan masyarakat serta dari barisan simpatisannya untuk pula bisa diusung sebagai Capres/Cawapres oleh para parpol peserta Pemilu 2014. Dan meski keduanya sama-sama tak jadi diusung akibat mungkin adanya "price politics-system", tetapi keduanya tetap cool-off dan lebih memilih untuk netral, namun tetap nantinya menggunakan hak pilihnya. Dan ini sangat berbeda dengan sejumlah tokoh lainnya yang sebelumnya pula sempat gencar bersosialisasi dan disebut-sebut sebagai sosok yang juga layak diusung sebagai Capres/Cawapres, namun begitu gagal (tidak terakomodir), beberapa tokoh itu pun "banting setir" dan lebih memilih masuk dalam “barisan tempur” sebagai timses capres tertentu untuk mematahkan langkah capres lainnya. Silakan disaksikan sendiri, bagaimana kondisi “pertempuran” antara kedua capres yang ada saat ini!? Sungguh memprihatinkan, bukan? Kedua kubu capres baik di dunia nyata maupun di dunia maya (social media) semakin memperlihatkan “kehebatannya”, yakni secara bertubi-tubi saling melempar fitnah, hujatan, dan caci-maki secara brutal. Parahnya, para tokoh berpengaruh yang tergabung dalam timses di masing-masing kubu itu tidak mampu meredam “aksi brutal”. Dan malah para tokoh tersebut saling berlawanan dengan menggunakan segala "fasilitas dan kekuatan" yang dimilikinya, seperti media cetak, stasiun televisi, yang setiap saat hanya mencari-cari dan memunculkan kesalahan dan kebusukan capres lawannya. Sungguhlah ini adalah sebuah pendidikan politik yang sangat menjijikkan... sangat... primitif, dan sangat membahayakan. Sebab, ini dipastikan justru hanya berbuah kebencian yang mendalam tidak hanya antar-pendukung, tetapi bisa menjadi "example culture" bagi generasi mendatang. Namun dari kondisi seperti itulah kita bisa membedakan secara person, mana yang bisa ditunjuk sebagai negarawan dan mana yang politikus seperti yang digambarkan oleh James Freeman Clarke. Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Dr. Rizal Ramli seharusnya bisa menjadi contoh bagi para tokoh yang kini ikut “bertempur” membela capresnya masing-masing. Bahwa, para tokoh tersebut semestinya tak perlu terlibat sebagai timses, lalu secara jiwa-raga saling mematahkan dan menjatuhkan antar sesama tokoh. Sungguhlah amat lebih baik dan bijak apabila seluruh tokoh itu cukup bertindak netral, namun tetap berusaha memberi support, pandangan, masukan atau saran dari "luar arena" kepada kedua kubu sesuai disiplin ilmu (latarbelakang) masing-masing, seperti yang dilakukan kini Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Rizal Ramli. Sangat indah untuk dibayangkan, bahwa betapa teduh dan sejuknya kondisi jelang Pilpres apabila tokoh-tokoh (intelektual, akademisi, pemuka agama, artis, dll) tidak melibatkan diri dalam pertarungan politik. Sebab dengan terlibatnya para tokoh secara langsung dalam hal dukung-mendukung itu, boleh jadi justru membuat KPU dan Bawaslu merasa “kesulitan bergerak" secara ideal. Artinya, yang semestinya para capres dan timsesnya yang harus hati-hati dan tunduk terhadap segala aturan KPU dan Bawaslu, namun karena adanya sejumlah tokoh yang punya nama besar ikut terlibat langsung mendukung capresnya, maka bisa jadi KPU dan Bawaslu yang justru harus bertindak hati-hati. Sehingga untuk menghindari hal-hal seperti itulah, sesungguhnya sikap netral dari para tokoh-tokoh yang ada saat ini sangatlah dibutuhkan sekaligus sebagai cerminan sikap mental dari seorang negarawan yang berkarakter Wisely Leader. Artinya, sikap netral dari para tokoh sungguh sangatlah dibutuhkan sebagai wujud pemberian dukungan dan pemberian “keleluasaan ruang gerak” secara ideal kepada KPU dan Bawaslu agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik tanpa di bawah tekanan dari pihak-pihak tertentu, dan demi kesuksesan Pemilu Presiden itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H