Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

Doa Buat Istriku, Negaraku, juga Rakyat Gaza

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14052079262019054479

[caption id="attachment_315207" align="alignnone" width="599" caption="Ilustrasi, desain pribadi Abdul Muis Syam (AMS)."][/caption]

SEJENAK aku beranjak meninggalkan meja kerjaku, lalu berjalan menuju kamar tidur putriku. Memang seperti biasa, di kala malam sudah larut, malam ini pun kembali aku harus menengok ke kamar itu dulu untuk memastikan apakah kedua putriku sudah tertidur. Dan di sana, keduanya memang sudah pulas.

Putriku yang pertama saat ini adalah siswi kelas 2 SMA. Sedangkan yang kedua kelas 3 SMP. Meski kedua-duanya lahir di kampung halamanku, Makassar, namun mereka kini bersekolah di kota kelahiran istriku, Gorontalo.

Sedangkan istriku kini telah meninggal pada Rabu (4 Juni 2014) lalu. Ia mengalami pendarahan yang sangat hebat saat melahirkan di Rumah Sakit Bunda, Gorontalo. Detik-detik hembusan terakhir nafasnya, aku tepat berada di sampingnya, sehingga betapa aku sangat sulit menjauhkan diri dari bayang-bayang yang nyaris setiap hari menyeretku dalam kesedihan.

Sehingga sejak kepergian sang istri tercinta, kini aku harus bertindak sebagai single-parent. Semua peran yang dulu dilakukan oleh istriku semasa hidupnya, sekarang semuanya harus aku yang lakoni. Untung saja sejak SMP hingga kuliah almarhumah ibuku sudah banyak mengajariku mengurus dapur. Sehingganya kini aku tidak perlu bergantung kepada siapa-siapa dalam hal mengurus anak-anak, termasuk menyiapkan makanan buat anak-anakku.

Namun hatiku selalu saja terenyuh ketika harus menengok keduanya tertidur di kamar tidur. Karena biasanya, di kamar itulah dulu anak-anakku ditemani ibunya melukis mimpi-mimpi indah di malam hari. Tetapi sejak ibunya telah tiada, entah mimpi seperti apa yang bisa mereka ukir. Dan aku hanya bisa mengelus-elus rambut keduanya hingga mataku terasa mulai mendung.

Dan sebelum air mata ini tumpah, aku harus buru-buru kembali ke meja kerjaku yang terletak di bilik dekat ruang depan. Di sini, aku lebih merasa sedikit bebas membiarkan air mataku menetes, tetapi tetap berusaha untuk tidak terlalu tersedu-sedu agar tidak terdengar oleh bocahku yang masih berusia 4,7 tahun, yang juga sudah tertidur nyenyak beralas karpet tebal tepat di samping kursi kerjaku. Sebab sejak tahu ibunya telah tiada, ia selalu ngotot tak pernah ingin lepas dariku.

Ketika aku baru saja nyaris larut dalam suasana batin yang begitu membuatku tersiksa, tiba-tiba kedua mataku tertuju ke televisi yang tak jauh dari komputer kerjaku. Di sana ditayangkan sebuah serangan roket Israel yang menghantam gedung panti sosial di Gaza-Palestina, tempat para anak yatim-piatu dan orang-orang jompo hidup dan berlindung.

Menyaksikan betapa dahsyatnya kesedihan yang dialami rakyat Gaza di negerinya sendiri, berangsur-angsur kesedihanku terasa “terbagi”. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Hingga akhirnya aku merasa malu kepada Tuhan. Aku pun tertunduk dan bedoa:

“Tuhanku, maafkan aku. Aku memang begitu sangat bersedih karena kehilangan istri, tetapi Engkau masih menyisakan suasana nyaman buatku, tak berlenggu, dan tidak terjajah oleh siapa pun. Tapi meski begitu, hamba tetap memohon sinarilah senantiasa istriku bersama bayi kami yang mendampinginya di alam kuburnya dengan Cahaya dan Nur kemuliaanMU.

Tuhanku, maafkan aku. Aku memang amat sedih, tetapi aku tak bisa membayangkan betapa saudara-saudaraku di Gaza lebih sangat merasakan kesedihan yang amat-amat mendalam, karena kehilangan tempat tinggal, kehilangan sanak keluarga yang juga mereka cintai, dan kini mereka terancam kehilangan tanah kelahirannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline