Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Syam

Terus menulis untuk perubahan

"Berburu" Koruptor di Atas Hukum Rimba

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1422487242569642474

[caption id="attachment_348484" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam"][/caption]

MALAM tadi saat kutulis judul artikel ini, ada suara cak... cak... cak... cak secara bersamaan dari dua ekor cicak. Mendengar itu, bulu kudukku sempat berdiri, seakan kemudian saya merasa berada di dalam hutan belantara, dan terasa ada binatang buas seperti buaya, serigala, harimau, ular, dan bahkan banteng yang terusik dengan celoteh cicak tersebut.

Sebetulnya, bukan hanya malam tadi saya (dan mungkin kita semua) merasa berada di dalam hutan. Tapi ketika konflik KPK versus POLRI terjadi, maka sejak itu sepertinya kita sudah merasa negeri ini menjelma bagai hutan belantara. Apakah karena partai penguasa saat ini berlambang seekor kepala banteng? Ataukah karena pemimpin kita saat ini adalah sarjana kehutanan...??? Entahlah..???

Yang jelas konflik KPK-POLRI setidaknya telah mengindikasikan kepada kita bahwa persoalan hukum “tingkat tinggi”, terutama masalah korupsi, cenderung diseret ke ranah politik. Mengapa?

Karena sejauh ini menurut saya, sesungguhnya ranah politik kita saat ini sudah berubah wujud, yakni bisa diibaratkan sudah menjadi hutan belantara. Para penghuninya pun lebih banyak menganut hukum rimba: siapa yang berkuasa dan kuat (termasuk bermodal besar alias berkantong tebal) maka dialah pemenangnya.

Makanya tak perlu heran jika hukum kita kerap bisa dilumpuhkan oleh orang-orang berkantong tebal, dan menjadi perkasa di hadapan orang yang tak “bermodal”.

Dalam konflik KPK-POLRI, saya mencoba untuk tidak membela salah satu institusi. Saya hanya mencoba ingin mengingatkan “kesepakatan” pandangan kita bersama, yakni kita sepakat bahwa negeri ini sudah banyak dipenuhi koruptor. Sehingga tentu sangat perlu dilakukan pemberantasan korupsi.

Dan kita jangan lupa, bahwa salah satu alasan eksistensi atau dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah karena kinerja Kepolisian dan Kejaksaan di masa lalu dalam menangani masalah korupsi sangat rendah.

Bahkan dalam sebuah acara mengenai hukum di salah satu stasiun tv, mantan Ketua KPK pertama, Taufiqqurahman Ruki, menilai KPK dibentuk karena penanganan korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan boleh dikata nol.

Bicara mengenai jumlah personil, KPK memang hanyalah lembaga kecil dibanding Kepolisian. Tetapi, menurut Ruki, eksistensi KPK harus sebisanya dipertahankan. “Sebab pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang harus dilakukan kalau tidak ingin negeri ini hancur,” katanya.

Tapi mampukah KPK melakukan tugasnya sebagai pemberantas korupsi di saat masalah-masalah korupsi di negara ini lebih banyak diseret ke ranah politik?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline