Lihat ke Halaman Asli

MA Fauzi

Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Teror Subuh dan Misteri Pria Berinisial R

Diperbarui: 28 Mei 2020   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DUA hari lalu, usai tunas pohon nangka mulai timbul perlahan dan musang coklat, si perusak kebun itu sudah tak ada kabar. Aku sempat kedatangan tamu jauh. Itulah yang membuatku terperanjat kaget sehingga bangun cepat-cepat, mengganti baju, membereskan kasur, menyeduh air panas untuk tiga gelas kopi; dua punyaku, satu untuknya. Namun suara ketukan pintu itu kian menggema, berulang-ulang seperti dering telepon yang tak diangkat seharian lantaran takut terjebak black calling seorang rentenir yang sudah menodongkan ancaman. 

Bagaimana tidak takut? Hampir dua bulan aku mulai hidup sendiri, jauh dari sanak famili sementara persediaan uang ke minggu kedua tinggal hitungan jari, belum lagi tagihan listrik yang membengkak, hari Selasa silam itu, termasuk hari paling sial sepanjang tahun terlebih juga paling terasa lama saat aku berdoa untuk segerakan besok atau pria berbadan kekar itu mengunjungi rumahku sekalian memesan peti matiku. Keringat dingin mengembun di pori-pori kulitku sejak syuruk menjamah langit sampai malam meneror nyawaku. Kapan ini berakhir?


Beberapa minggu terlewati dengan sukacita ketika kudengar tiga hari setelah penantian lamaku, ternyata pria berbadan kekar itu mulai tobat. Perihal ini diketahui oleh tetangganya, Kujing -- teman dulu masih bekerja di kafe lokal -- menatap dengan kedua bola matanya tertuju kepada baju koko putih mengkilat dengan sorban melilit di pundak, kopiah hitam memutari kepala botaknya bak tanduk banteng yang menyergap kawanan rusa liar. Berjalan gagah dengan dada menghadap kiblat, wajah garangnya berubah teduh bagai redup lampu jalan sepanjang desa kami. 

Kujing pastikan pria yang selama ini bekerja sebagai debt collector suatu perusahaan tidak lagi membuat onar situasi desa dengan kejahatan komplotannya.


Ia menganalisis setelah pemantauan berhari-hari; mantan penagih utang itu lebih suka berdiam diri di masjid, memberi santunan anak yatim, bahkan kegiatan pengajian pun berjalan optimal yang sebelumnya pernah diobrak-abrik oleh preman setempat.  Warga desa semakin senang dan bungah tiada tara, seakan tak ada lagi teror yang senantiasa membidik ketenangan desa disini. Padahal, bila Kujing dan warga desa ingin membuka aib pada paragraf ini, bisa-bisa penuh dengan kejelekan pria itu. Kau tahu, hampir semua dosa besar dilakukan kecuali satu yang belum: durhaka kepada orang tua.

Meski terkesan lebih antagonis namun sama sekali ia tidak membantah suruhan orang tua ketika dulu suka beli cabai merah ke tukang sayur. Kini, dua-duanya mati, tinggal pria itu sendiri terlahir dari rasa penyesalan dan berbuah balas dendam. Seram.


"Apa benar berita itu valid?" suara telepon terhubung, tanpa salam atau sapa, aku mulai dari poin utamanya.


"Benar sekali, tiada dusta kedua mataku untuk mengada-ada."


"Buktinya?"


"Suatu malam, seseorang mengetuk..." tut tut tut suara telepon terputus, mungkin sinyal sedang bertengkar, tiba-tiba saja telepon menunjukkan notifikasi agar aku membeli pulsa atau batas tenggang itu memakan SIM card-ku. Sudah kubilang, aku sedang tidak ada uang hari ini.


***
Suara ketukan itu tambah menjadi-jadi. Masih subuh sudah berisik. Apa gerangan jika saja tamu itu adalah temanku, mana mungkin ia bisa bangun pagi sementara rezekinya terus dipatok ayam -- kata orang-orang dulu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline