Lihat ke Halaman Asli

Garis Jalan, Sebuah Refleksi Awal Ramadhan

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13733378031941344152

[caption id="attachment_265542" align="aligncenter" width="273" caption=""][/caption]Beberapa hari yang lalu, kami sekeluarga berkesempatan untuk berkunjung ke rumah adik di Bogor. Spesial buat saya karena dua hal : pertama, ini pengalaman pertama saya ke kota talas; kedua, karena di perjalanan ini saya murni jadi penumpang tanpa tanggung jawab untuk mengemudi, sehingga besar harapan saya untuk dapat menikmati perjalanan. Tak tanggung-tanggung, saya dapat jatah baris jok paling belakang yang sudah disulap seperti tempat tidur untuk kedua balita kami. Alhasil, saya lebih sering melihat sisi belakang daripada mengamati arah jalan ke depan. Tokh, saya sudah pasrahkan semua perihal arah dan pilihan jalan kepada pengemudi di depan, yang tentunya sudah berpengalaman dan ber-SIM. Menjadi penumpang belakang, mau tak mau saya harus berteman dengan marka jalan yang melaju ke arah berlawanan dengan arah perjalanan kami. Mengingatkan saya akan nasihat ahli hikmah bahwa hal terjauh dalam hidup kita adalah masa lalu. Masa dimana kita hanya bisa mengenangnya tanpa bisa meng-edit meski hanya sedetik dari setiap kejadian-kejadiannya. Masa dimana kita hanya bisa mengenangnya sebagaimana saya melihat marka jalan itu, kadang detail sampai ke lobang jalan yang rusak, kadang berhembus secepat angin sehingga terlihat bahwa marka itu bukan garis yang putus-putus melainkan satu lintasan putih berkesinambungan. Menarik untuk saya bagi bahwa fungsi melihat ke belakang hampir tidak ada 20% dari keseluruhan kebutuhan menentukan arah perjalanan. Saya merasakan sendiri bahwa fungsi komando saya dari belakang hanya terasa efektif pada saat kendaraan memutuskan untuk mundur sedikit, parkir, atau melambat, untuk memastikan tidak ada yang ditabrak di sisi belakang. Selebihnya, komando perjalanan didominasi dengan pertimbangan kiri, kanan, dan depan. Sebuah renungan tentang optimisme melangkah. Begitupun masa lalu, hanya perlu kita tengok sekejap pada saat kita perlu mempertimbangkan untuk memperlambat langkah hidup, berhenti sejenak, atau bahkan parahnya pada saat kita mengalami kemunduran. Adalah benar bahwa pengalaman adalah guru terbaik, tapi sebaik-baik pembelajar adalah orang yang mampu menimba ilmu dari pengalaman orang lain, pengamatan kiri kanan, dan keyakinan akan arah ke depan. Kini, kita kembali di ujung Sya’ban, menanti kehadiran bulan penuh keagungan. Inilah bulan kita, bulannya ummat Muhammad Shollallaahu ‘Alaihi Wasallam, tempat kita mensucikan ruh setelah dua bulan sebelumnya kita mempersiapkan diri untuk lebih mensucikan badan dan hati kita. Sudahkah kita siap meniti perjalanan dalam Ramadhan ini? Arah sudah jelas, untuk menjadikan kita meraih predikat taqwa. Pengalaman terbaik yang perlu kita raih di bulan ini adalah Lailatul Qodar. Tahapan yang harus dititi jelas setiap sepuluh harinya. Suasana untuk menyerap pengamatan kiri kanan sangat kondusif dalam jama’ah karena kita berpuasa bersama-sama sebulan penuh. Maka masa lalu, hanya perlu kita tengok sekejap untuk memastikan bahwa Ramadhan kita jauh lebih baik dan berkualitas dari Ramadhan sebelumnya. Marhaban Yaa Ramadhan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline