Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi dan Keta'atan, Sebuah Renungan Jum'at

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13295892851694481802

[caption id="attachment_163625" align="alignleft" width="300" caption=""][/caption]Agak terlambat mungkin untuk menuangkan pengalaman mendengarkan khotbah jum’at, 17 Februari kemarin, tapi semoga topiknya masih relevan sebagaimana judulnya. Tokh, tidak ada skorsing atas “keterlambatan” di media ini ;) “Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan, mereka (disediakan) balasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka memiliki semua yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu. Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yang buruk dan tempat kediaman mereka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (Qur’an, Ar-Ra’d, ayat 18). Ya, khotbah yang saya dengar jum’at ini diawali dan di-tema-i dengan petikan terjemah ayat tersebut. Garis besarnya, adalah tentang ketaatan dan balasannya, serta pembangkangan serta nilai yang harus dibayar karenanya. Menarik karena kemudian sang khotib membawanya ke ranah yang kontekstual, yaitu ranah demokrasi. Dalam jembatan konteks yang disampaikan, bahwasannya dalam ajaran Islam ketaatan disampaikan berupa: Keta’atan kepada ALLAH, Keta’atan kepada Rosul ALLAH, dan (menurut) kepada para pemimpin. Disini, khotib menggantikan kata ta’at menjadi menurut dalam konteks kepada pemimpin. Dan, menurut disini pun dibatasai hanya dalam setiap perintah yang sejalan dengan kedua keta’atan sebelumnya. PLUS, larangan menghujjat dan anjuran bermusyawarah. Konsep dalam paparan diatas menjadi satu paket yang tidak dapat dibeli terpisah apabila kita menghendaki kehidupan yang penuh balasan kebaikan sebagaimana dijanjikan dalam Q.S.Ar-Ra’d (18) diatas. Yang kemudian menjadi penyejuk adalah, bahwa setiap hal kecil harus dimulai dari diri kita sendiri, keluarga kita, lingkungan kita. Yang terjadi akhir-akhir ini, masih menurut khotib, setiap pribadi di antara kita sekarang ini merasa cukup dengan ta’at kepada ALLAH, merasa ta’at kepada Rosul-NYA, tanpa perlu menurut kepada pemimpinnya, PLUS menjadi ahli hujat atas setiap kekurangan orang lain, termasuk kekurangan pemimpinnya. Dalam posisi ini, parahnya, faktanya bisa saja kita sebenarnya tidak ta’at kepada ALLAH, juga tidak ta’at kepada Rosul-NYA, karena kita tidak nurut pada pemimpin kita dan juga telah menjadi ahli hujat. Na’udzubillah. Lalu dimana keluhuran alam demokrasinya. Dimana letak dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat – nya dalam kondisi ini. Dimana kekuatan trias politika disini. Tentu semuanya hancur, semuanya keluar dari aturan main, semuanya jauh dari kebaikan yang dijanjikan. Singkatnya, kehidupan kita sebagai bangsa pun jauh dari kedamaian. Padahal sejatinya, kita bisa memperbaikinya dengan konsep demokrasi yang telah pernah kita miliki. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sebuah ruh yang saat ini hilang terdepak oleh votting yang dahulu hanya serep terakhir namun kini melahirkan momok menakutkan berupa money politics. Sebuah ironi yang patut kita benahi, tentunya mulai dari diri kita, dari hal terkecil, dari sekarang. ~amrunofhart~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline