Lihat ke Halaman Asli

AMRUL HAQQ

Pendiri Media GelitikPolitik.com

Mencekik di Kala "Paceklik"

Diperbarui: 17 Mei 2020   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika pandemi covid-19 menunjukkan angka kasus yangterus meningkat, perjuangan tenaga medis yang bertaruh nyawa dan tidak sedikit yang gugur karena tugas, banyak sektor industri terdampak, phk terjadi dimana-mana, masyarakat seperti jatuh tertimpa tangga pula, pasalnya pemerintah 'ketok palu' menaikkan iuran BPJS Kesehatan (lagi).

Kebijakan ini sempat ramai di DPR januari silam, khususnya di Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan, rapat dengan Menteri Kesehatan Terawan, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Chairul Rajab Nasution dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)  Tubagus Achmad Choesni.

Terawan dan Dirut BPJS Kesehatan dihujani kekecawaan mayoritas anggota DPR yang hadir pada rapat kala itu, pasalnya pemerintah melalui Kemenkes dan BPJS Kesehatan dinilai belum siap memberikan solusi selain menaikkan iuran BPJS Kesehatan akibat defisit anggaran.

Sebelumnya, pemerintah melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Tarif baru ini berlaku pada 1 Januari 2020. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa ada kenaikan untuk peserta mandiri untuk semua kelas.

Kelas I mengalami kenaikan menjadi Rp 160.000 dari sebelumnya Rp 80.000, lalu kelas II naik menjadi Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000, dan kelas III menjadi Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 25.500.

Meskipun kenaikan terjadi dan berjalan sebentar, Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCD) mengajukan judicial review di Mahkamah Agung dan diputuskan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini dibatalkan MA, artinya iuran BPJS Kesehatan batal naik per 1 Januari 2020.

Drama ini belum selesai, pada 5 Mei 2020, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres no 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pada pasal 34 Perpres no. 64 Tahun 2020 disebutkan bahwa iuran JKN-KIS peserta kelas I naik dari Rp. 80.000 menjadi Rp. 150.000  per bulan, kelas II naik dari Rp. 51.000 menjadi Rp. 100.000 per bulan, dan kelas III segmen peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (PBP) naik menjadi Rp. 42.000 per bulan efektif per juli 2020.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dinilai sebagai langkah menyelamatkan defisit anggaran BPJS Kesehatan, pasalnya BPJS Kesehatan masih memiliki tunggakan klaim rumah sakit tahun anggaran ,2019 dibebankan ke tahun 2020 sebesar Rp. 15,5 triliyun. Tepatkah kebijakan itu?

Disisi lain, pemerintah gencar 'menunaikan' janji kampanye 'jual kartu sakti' pra kerja yang menuai polemik disaat pandemik, anggaran 20 triliyun digelontorkan untuk program pelatihan dan pembekalan uang tunai untuk 5,6 juta pesertanya sepanjang periode tahun 2020 ini.

Dikala masyarakat dihadapkan pada situasi ekonomi yang sulit akibat dampak pandemik covid-19, pemerintah hadir memberikan pelatihan untuk melatih skill melalui platform yang sudah melakukan kerjasama sepeti RuangGuru, MauBelajarApa, HarukaEdu hingga LinkAja dan OVO. Pelatihan skill tanpa lapangan kerja memadai juga tidak menutup kemungkinan melahirkan 'pengangguran terdidik' ala pelatihan daring.

Jika saja pemerintah tidak tergesa-gesa membuang anggaran yang masih samar peruntukan dan outputnya apalagi proyek pra kerja yang dinilai sarat kepentingan bisnis, dana 20 triliyun itu bisa menutupi desifit anggaran BPJS Kesehatan senilai 15,5 triliyun tanpa membebani masyarakat yang masih ditimpa kegelisahan kapan pandemi covid-19 berakhir seraya berdoa dan berharap agar situasi ekonomi kembali pulih dan bisa melakukan kegiatan seperti sediakala.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline