Lihat ke Halaman Asli

Menghidupi Kehidupan

Diperbarui: 17 April 2018   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar bekerja, kera di hutan juga bekerja." Kalimat ini disampaikan oleh Buya Hamka. Dan yang menarik, bagi sebagian orang memaknai kalimat ini dapat berbeda tergantung perspektif dan latar belakang. Waktu untuk memahaminya pun bisa beda, tergantung dengan cerita yang orang itu lewati. Tapi mungkin ada kesamaan makna untuk semua orang, bahwa sejatinya bekerja dan berdoa menjadi satu kesatuan dalam kehidupan.

Saya mencoba memaknai kalimat diatas, penggalan kutipan dari seorang ulama dan sastrawan yang begitu (mungkin) menghidupi hidupnya bagi sebagian orang. Saya menemukan kalimat ini tidak begitu lama dari waktu saya mencoba menulis. Begitu saya membaca dan mencoba meresapi, bawah sadar saya seolah berdecak kagum. Saya coba bagikan kepada teman dan kerabat terdekat, maklum dewasa ini (netizen) seperti saya mudah melakukan hal tersebut. Mungkin latah-media sosial. Tanggapan begitu beragam, ada yang kagum sama seperti saya, ada yang bahagia seolah menemukan jawaban, ada pula yang biasa saja. Tanggapan wajar, namanya juga hidup sosial.

Tapi kembali lagi ke diri saya, ntah terlalu memikirkan atau kurang punya kesibukkan, saya terus terpikirkan. Hidup itu apa? Lalu perbedaan hidup manusia dengan hewan itu bagaimana? Bekerja? Bekerja seperti apa yang "seharusnya" dilakukan oleh manusia? Ah, pertanyaan bodoh dari saya. Sudah hidup lebih dari 20 tahun tapi kenapa mempertanyakan hal seperti itu. "Ya bekerjalah untuk kebutuhanmu hari ini dan masa depan, ya itu namanya hidup". Lalu muncul lagi pertanyaan, maaf saya memang terlalu banyak bertanya dan makin jelas bahwa saya kurang punya kesibukkan, apa itu kebutuhan hidup? "Ya kebutuhan makanmu sehari-hari, menabung untuk rumah dan menikah, serta coba membahagiakan orangtuamu selagi ada waktu". Jawaban jelas, padat dan tepat (menurut saya).

Akhirnya selang beberapa tahun setelah itu, sembari mengisi waktu dengan kewajiban mahasiswa (maklum masih belum berhasil lulus) saya mencoba kembali kepada kalimat ini. Berbagai kegiatan sudah saya jalani, mencoba mengenal banyak orang dan hal baru, tapi ntah kenapa masih saja saya terpikirkan.

Sampai pada suatu kesempatan saya berbincang banyak dengan teman di sebuah warung kopi, ada obrolan menarik (menurut saya) tentang rencana masa depan. Dengan asyiknya saya mencoba menyampaikan mimpi dan angan-angan. Yah, sambil dalam hati berkata "moga-moga ada malaikat lewat diaamiinkan dan disampaikan ke Yang Maha Berkehendak". Lalu salah satu teman bercerita bahwa tidak memiliki mimpi dan cita-cita, teman saya hanya berkata "aku mek ngelakoni ae sing onok, masalah lan berkah kuwi bersamaan". Artinya "aku hanya menjalankan (hidup), masalah dan berkah itu (datang) bersamaan". Reaksi pertama saya bingung, bingung to kok bisa orang tidak punya mimpi. Setidaknya terbesit lah keiinginan untuk memiliki sesuatu. Reaksi umum kita (saya dan teman-teman) adalah guyoni atau mencoba menertawakan omongan teman saya. Ya, kita tidak mengira kalimat itu muncul dari teman saya satu ini. Sampai waktu dimana kita kembali ke tempat tinggal masing-masing, karena jam sudah menunjukkan pukul satu pagi.

Mungkin itu jawaban yang saya perlukan, kalimat sederhana dari teman tapi penuh makna. "aku mek ngelakoni" katanya, yang saya tangkap bahwa teman saya mencoba untuk berusaha dan ikhlas. Kata-kata sederhana yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan (menurut saya). "masalah lan berkah kuwi bersamaan" katanya pula, benar memang sesungguhnya kemudahan dan kesulitan itu satu kesatuan tak terpisahkan. 

Kembali ke pertanyaan saya, hidup itu apa? Hidup itu luas, perihal perspektif atau sudut pandang, yang jelas hidup itu mudah-mudah sulit, sulit-sulit mudah pula. Hidup itu penuh kebaikkan, dapat pula penuh keburukkan, tergantung bagaimana kita mengisinya. Hidup itu bersama-sama dengan sesama makhluk Tuhan lainnya. Penuh dengan kekecewaan pun kebahagiaan. Lalu, perbedaan hidup kita dengan makhluk lainnya? Itu sudah terjawab pada pertanyaan pertama, tergantung bagaimana kita mengisinya. Kita mampu mengisi kehidupan dengan kehendak kita, apa saja bisa dilakukan, hanya saja tidak bisa melewati kehendakNya. Jelas sekali mengapa rohani pun sebagai kebutuhan. Trus, kenapa bekerja? Bekerja seperti apa? Mengisi kehidupan itu tergantung dari bagaimana kita bekerja, bekerja tidak melulu tentang harta dan materi (kata mereka yang sudah lebih lama menjalani hidup serta bekerja), tapi tentang bagimana kita kerjakan hidup kita untuk kebaikan. Ya kalau mau tentang keburukkan ya bisa, kembali lagi kita mampu dan memiliki kehendak atas itu semua. Ah, kata-kata memang mudah disampaikan saja. Tapi begitu sampai ke dunia nyata, manusia tidak jarang yang sulit bahkan berulang kali melakukan kesalahan atas kata-katanya (seperti saya ini).

Seringkali hidup terasa sulit memang, senikmat-nikmatnya manusia menjalani kehidupan pasti ada sulitnya. Hanya takarannya saja yg mungkin berbeda, toh semua tetap mengalami kesulitan dan kemudahan. Nikmat sebenarnya, hanya saja cara saya atau kita yang salah menikmatinya. Mungkin sama seperti lagu bernuansa sedih yang akan terasa nikmat ketika kita pun merasakannya, ada kesatuan rasa diantaranya. Seperti itu hidup ini, ketika tidak nikmat silakan saja lihat kembali, mungkin kita salah menikmatinya. Yang terpenting adalah pasrahkan saja apa yang akan terjadi. Boleh merencanakan, tapi pula mengembalikan rencana tersebut Yang Sungguh Maha Segalanya. Yah, apalah saya mencoba menjelaskan sedangkan pengalaman, bekerja, dan menjalani hidup saja belum genap seperempat abad. Nah itu dia! Belum memenuhi segala kesempatan yang mungkin bakalan ada kok sudah bisa berkata "hidupku berat, hidupku tidak nikmat". Masih ada kesempatan diantara sekian banyak tempat untuk menghidupi kehidupan. Percayalah.

Dalamnya sebuah makna memang kembali kepada sudut pandang, sudut pandang akan terbentuk sesuai kondisi dan latar belakang. Tidak ada yang salah dalam menanggapi, namanya juga hidup sosial. Tapi satu hal yang saya syukuri, bersyukur dan berterimakasih menemukan kalimat ini. Dan sungguh memang, beliau menyampaikan dengan begitu indah. Semoga memang benar adanya dan dapat mewujudkan menghidupi hidup. Merasa beruntung untuk kesempatan, namun merasa rugi kalau menyia-nyiakannya. Alhamdulillah.

Mohon maaf apabila ada kesalahan terhadap opini saya dan semoga kebaikan selalu ada disekitar kita.

Andi Mohammad Rizki H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline