Semuntai. Pantatku sudah sebal. Ambil jalur kiri, menepi dan singgah di warkop langganan. Kakak karyawan warkop lagi menyapu.
"Bonarkah, Co, ada urang beradak di gertak tih?" (Apa benar, Kak, ada orang tabrakan di jembatan?)
Ohya, bagi yang belum menyimak, silakan googling tentang peristiwa tabrak lari di jembatan semuntai. Beberapa koran lokal, memberitakan hal tersebut di situs mereka.
Si Ico hentikan aktivitasnya. Mengangguk. Kemudian memberikan keterangan lengkap 5W+1H. Wah, kupikir, layak jadi narsum diacara-acara debat tv. Aku pesan teh hangat. Kali ini gelas medium. Takut perut jadi kembung.
Mengangguk angguk. Pilu hati membayangkan reaksi keluarga besar korban.
...
...
Ting!
Hei?
Aku jadi ingat masa kanak-kanak di Nanga Biang. Saat-saat jembatan Semuntai akan di bangun. Namanya anak-anak, kalau mandi suka lupa waktu. Dalam bahasa ibu kami, bahasa Melayu Senganan Kalbar, tabiat mandi di Kapuas berhari-hari itu "BELIMUR" namanya. Eh. Jangan salah paham. Kata tersebut memang bisa bikin keliru. Mirip-mirip MEMBELI MUR.
Jadi, orang-orang tua selalu melarang BELIMUR.
"Ada buaya...!!!"
He2... Tak mempan. Sebab mata kami bisa lihat itu batang kayu hanyut. Tapi saat ada "spet terobang" alias speed boat melintas, terdengar teriakan horor: "PENGOREEEKKK...!!!"
Kami pun berhamburan naik ke daratan. Pengorek alias pemenggal kepala, adalah isu heboh saat itu. Para pengorek beraksi mencari kepala-kepala, terutama anak-anak, untuk korban suatu proyek besar, termasuk pembuatan jembatan.
Jika tadi aku angguk-angguk, sekarang geleng-geleng. Seakan ada talihubung kasat mata...tapi apa? Aku berucap istighfar.
18.12.12
Catatan Perjalanan, Semuntai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H