Lihat ke Halaman Asli

Ketika Ukuran Sepatuku 38

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempo hari aku berhenti di sebuah kedai lauk lengkap di daerah Minomartani. Masih dengan seragam keagunganku yang biru-putih dan perasaan penat akan sebuah siklus hidup remaja yang sepertinya teramat monoton. Peduli setan dengan mukaku yang lecek, wong ya memang dari pagi aku sekolah. Belum lagi pulangnya harus berdesakan di sebuah kubikel halte yang rasionya terlalu ekstrim jika dibandingkan dengan jumlah orang yang berdiri di sana.
Waktu aku dan ibuku membayar, seorang bocah perempuan duduk di salah satu kursi dekat meja kasir. Bajunya pink terang dan rambutnya kucir dua.
Aku belum pernah memperhatikan seorang bocah SD dengan begitu getolnya karena sifat keapatisan yang mulai bertumbuh seiring aku beranjak remaja. Tapi bocah ini lain. Dia mengingatkanku betapa aku juga pernah mengalami hidup di usianya.
Ingat betuuuul aku rasanya. Ketika apa yang kupikirkan hanyalah main dan main saja, tidak ada skandal pertemanan dan romansa picisan. Ketika aku tidak perlu belajar untuk menggaet nilai 9-10, tidak ada yang namanya koefisien muai, aljabar, dan tetek-bengek tumbuhan yang harus dihafalkan. Ketika perasaan masih sebentuk jalan pikiran yang sederhana. Marah, senang, kecewa. Belum ada bentukan-bentukan perasaan remaja yang sukar sekali dinamai. Benar begitu kan? Kalau tidak, apa coba nama perasaan ketika, misalnya, kamu ingin membenci seseorang padahal kamu tahu inti hatimu berkontradiksi dengan apa yang kamu bilang tadi?
Aku juga ingat benar tentang bayanganku saat SD tentang aku yang duduk di jenjang SMP. Aku Kecil membayangkan sosok yang tinggi dan berambut lurus sepundak. Eh tiba-tiba kok si Aku Kecil ini sudah berada di usia belasan yang ia bayangkan tadi. Dan kini dia sedang menuliskan betapa ia minta maaf karena telah menjelma sebagai sosok yang tidak sesuai dengan apa yang dipinta.
Tanpa sadar lauk-pauknya sudah dibayar. Bocah itu masih duduk di sana, menelisik para pembeli yang bersliweran.
Di dudukan motor, aku menyematkan earphone dan menyalakan iPod-ku, melantunkan lagunya Sherina saat ia masih kecil pula. Lalu aku menyandarkan kepalaku di punggung ibuku, untuk pertama kalinya merasa terangkat dari beban pikiran yang kompleks.
Andai aku bisa menjadi kecil lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline