Bangga rasanya menjadi anak seorang dukun terkenal di seantero kota. Dengan segala kharisma dan karunia yang dimilikinya, ayah memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mentereng dan tentu saja uang berlimpah hasil jasa perdukunan dengan berbagai pelanggan kaya dan pejabat tinggi.
Ingin rasanya aku mewarisi keahlian ayah dalam soal perdukunan, meski tentu saja aku bakal menjadi ahli waris tunggal kekayaan yang dimiliki orangtuaku.
Hari itu, aku memasuki ruang praktek ayah yang elegan dan mewah. Pada dinding ruang praktek itu, ayah pasang beberapa potretnya bersama pengusaha terkenal, selebriti dan pejabat pemerintah. Aku kembali berdecak kagum.
"Ada apa nak? Tumben kamu masuk ruang praktek papa," kata ayahku sembari tersenyum.
Berbeda dengan dukun-dukun lawas yang umumnya memakai busana tradisional, penampilan ayah sebagai dukun kawakan lebih perlente dengan mengenakan jas mahal plus dasi trendy. Wangi parfum import asal Eropa ayah mendadak menyeruak di seluruh ruangan.
"Nggak Pa, pengen ngobrol aja," sahutku tersipu.
"OK my son, ayo duduk sini dekat ayah, mau ngobrol apa?" balas ayahku selesai menunjuk sebuah sofa empuk.
Kami lalu duduk di sofa dan ayah menyodorkan sebuah minuman soft drink ke arahku.
"Pa, begini," kataku lirih sembari memandang rikuh ke ayah,"aku pengin seperti ayah, menjadi dukun terkenal seperti sekarang"
Mendadak ayah terdiam. Helaan nafas berat terdengar olehku,