Plesiran Tempo Doeloe
Halmahera-Morotai Day-5 : Bertamu kerumah Bupati Morotai, Museum Perang Pasifik, Pemandian Air Kaca, Pitu Air Srip, Pantai Wawama
Rabu, 27 Oktober 2012
Bertamu kerumah Bupati Morotai
Acara kami di Pulau Morotai dimulai setelah selesai sarapan di penginapan masing-masing. Sebelumnya, pukul 07.00 pagi Pak Amran, Bu Wisda dan Adep dengan ditemani oleh Pak Aziz dari Dinas Pariwisata Kabupaten Pualu Morotai, bertamu ke rumah Bupati Kepulauan Morotai, Bapak Sukemi Sahab, SH, Msi, untuk melaporkan kedatangan rombongan Batmus dan sekaligus minta bantuan Pak Bupati sehubungan dengan masalah transportasi yang tidak tersedia sesuai permintaan kami, dan sesuai dengan pembicaraan terdahulu dengan para Pejabat Dinas Pariwisata setempat. Rumah kediaman Pak Bupati terletak tidak jauh dari Hotel Pacific Inn, sekitar 100 m dari hotel. Kami diterima dengan ramah oleh Pak Bupati, yang langsung turun tangan dengan memerintahkan jajarannya untuk menggunakan mobil dinas plat merah lengkap dengan sopir dan bahan bakarnya. Sebelum pamit untuk memulai perjalanan keliling Pulau Morotai kami memberikan oleh-oleh berupa kaos PTD kepada Bapak Bupati dan diterima dengan senang hati. Kami disediakan 6 mobil antara lain Innova, Avanza, dan Panther. Alhamdulillah. Jadilah kami memulai petualangan di Pulau Morotai dengan berkonvoi 2 bus non-AC, 5 mobil dinas dan beberapa sepeda motor dan 1 mobil bak terbuka, untuk logistik (terutama untuk es batu, dan panitia yang dijemur, hehe).
Museum Perang Pasifik
Pertama kali kami kunjungi sebuah "museum" Perang Pasifik, yang terletak di sebuah perkampungan penduduk. Kami sangat terperangah melihat yang namanya museum perang tersebut, sebuah bangunan amat sangat sederhana berukuran sekitar 4x6 m, semi permanen. Namun isinya Bung, luaaaar biasa, fantastis! peninggalan peralatan perang semasa PD II yang berserakan, terkubur, dan yang ditemukan di dalam goa di Pulau Morotai, dan sekarang terkumpul di "museum" tersebut. Adalah Pak Muhlis Eso dan kawan-kawan yang berinisiatif mengumpulkan benda-benda ex-perang tersebut.
Dapat dijumpai di dalam museum adalah senapan mitraliur dengan kaliber 12,7 untuk penangkis serangan udara lengkap dengan rangkaian pelurunya namun sudah berkarat, senjata-senjata serbu, amunisi arlikon, amunisi canon, amunisi bazoka, amunisi mortir, granat nanas, morfin, botol obat-obatan beserta isinya, tabung gas, rantai cakar mobil, botol minuman coca cola dengan tampilanbotol khas tahun 1940-an, botol minuman alkohol, sendok, garpu, cangkir, tempat makan dari alumunium, tanda-tanda kepangkatan dari Tentara Jepang, Amerika, Australia, uang coin, bayonet, helm, topi baja, magazin, teropong, masker dan banyak lagi. Sebagian lagi barang-barang temuan Pak Muhlis masih tersimpan di rumahnya, karena takut hilang bila semua ditempatkan di museum yang kondisinya kurang layak tersebut. Kami memasuki museum dengan bergiliran, 5 orang dalam satu rombongan dengan durasi waktu 5 menit. Sambil menunggu giliran peserta lainnya, Yosef Djakababa, -dibantu Adep, Budi dan Dina- dengan bantuan alat peraga berupa peta ukuran besar, mulai bercerita tentang strategi perang Jenderal MacArthur, yaitu strategi lompat katak dari Australia, Papua, Morotai sampai Philipina. Inilah sepenggal lain cerita tentang Jenderal MacArthur.
Setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jenderal MacArthur menerima berita penyerahan Jepang. Segera dilakukan persiapan untuk menyelenggarakan penyerahan secara resmi. Untuk keperluan itu MacArthur terbang ke Yokohama. Permintaan Jenderal Eichelberger supaya kepadanya diberi kesempatan 2 hari untuk menyusun penjagaan keamanan sebelum MacArthur mendarat dijawab dengan tegas bahwa 2 jam sudah lebih dari cukup. Dua hari kemudian upacara penyerahan resmi dilakukan diatas kapal perang "Missouri" yang berlabuh di Teluk Tokyo (Tokyo Bay). Menurut keterangan seorang diplomat Jepang yang menghadiri upacara ini, berbagai pembesar Jepang menolak untuk mewakili negaranya. Sampai seorang jenderal mengatakan akan melakukan harakiri bila ia dipaksa. Akhirnya menteri luar negeri Shegimitsu ditunjuk sebagai kepala rombongan. "Belum pernah saya rasakan" kata diplomat itu lebih lanjut, "bahwa mata hadirin yang ditujukan kepada kami, begitu menyakiti". Bagi MacArthur sebaliknya hari ini merupakan hari yang besar. Badannya yang tinggi dan topinya yang termasyhur menguasai seluruh pemandangan. Tidak sedikit diantara hadirin yang menahan nafas ketika suaranya berkumandang : "Hari ini tembakan-tembakan berhenti. Malapetaka yang besar telah berakhir dan kemenangan yang besarpun telah tercapai. ...Seluruh dunia menikmati ketenteraman damai. Tugas kami yang suci telah selesai. Dan saya melaporkan kepada hadirin dan rakyat seluruhnya atas nama beribu2 bibir yang kini untuk selama-lamanya tinggal diam ditengah hutan rimba, pantai dan air yang dalam dari laut Pasifik………"
Pemandian Air Kaca
Usai mengunjungi "museum" Perang Pasifik dan foto bersama dengan spanduk PTD, rombongan meneruskan plesiran ke lokasi Pemandian Air Kaca, yaitu suatu tempat yang dulu (katanya) pernah dipakai oleh Jenderal MacArthur untuk mandi. Tempat mandi tersebut tinggal sebagai saksi sejarah dan tidak dipergunakan lagi. Perjalanan ke tempat permandian ini dipandu oleh Pak Muhlis dengan mengendarai sepeda motor diikuti oleh konvoi rombongan dengan melewati jalan kecil di dataran yang banyak ditumbuhi semak belukar dan rumput alang-alang. Di lokasi ini kami mendengarkan penjelasan dari pejabat setempat tentang riwayat Permandian Air Kaca. Karena tempatnya agak curam tidak semua peserta turun ke lokasi permandian yang agak ke bawah. Hanya kamera peserta yang tidak hentinya mengabadikan lokasi bersejarah tersebut.
Pitu Air Srip
Kembali ke kendaraan masing-masing, rombongan sekarang menuju ke lokasi Pitu Air Srip. Dinamakan Pitu karena memang jumlah runwaynya ada sebanyak 7 buah, dengan panjang landasan pacunya sekitar 3 km. Hanya 1 runway yang digunakan dan dioperasikan oleh TNI AU. Kami diberikan izin memasuki areal runway oleh Pak Sudewo sebagai komandan Air Strip tsb. Sama seperti di Bandara Kao, disini juga sessi foto-foto dengan petugas dan Pak Sudewo tidak disia-siakan peserta yang juga mengabadikan lokasi airstrip di Morotai dengan suasana ceria para peserta. Menurut cerita orang dulu dan juga dari dokumen sejarah, di masa perang yang lalu ribuan pesawat terbang setiap hari menggunakan lapangan terbang ini.
Pantai Wawama
Sekitar tengah hari, plesiran dilanjutkan menuju Pantai Wawama di sekitar Daruba untuk makan siang. Untuk praktisnya makan siang sengaja berupa nasi kotak dengan menu apalagi kalau bukan masakan ikan dan sayuran. Seorang peserta yaitu Nanis berulang tahun dan kami rayakan bersama-sama dengan cipika-cipiki ke Nanis. Happy Birthday Mbak Nanis. Beristirahat sejenak melepaskan lelah setelah makan siang petualangan dilanjutkan. Kali ini mengunjungi suatu lokasi tempat tergeletaknya 2 buah Tank Amphibi Amerika atau juga dikenal sebagai Amtrac (Amphibi Tractor), yang menurut perkiraan dapat mengangkut sekitar 20-an pasukan. Lokasinya terletak di perkebunan warga dan sekarang sudah dipagar agar besinya tidak dicuri orang. Foto lagi, foto lagi. Sore hari sebelum kembali ke hotel rombongan mampir di sentra Kerajinan Besi Putih. Disini peserta mulai membeli oleh-oleh berupa perhiasan yang bentuk design dan kwalitasnya cukup bagus yaitu gelang, cincin, anting, kalung dan bahkan sendok penggorengan, ...wualllaaaah. Kembali ke hotel, mandi, sholat dan keluar lagi untuk makan malam di RM. Moro Rasa dan kembali lagi ke hotel, istirahat, dan tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H