Lihat ke Halaman Asli

Amran Ibrahim

pencatat roman kehidupan

PDIP, Buruk Muka Cermin Dibelah

Diperbarui: 27 Juli 2020   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politisi PDIP Djarot Saiful Hidayat, Sumber: Kalteng Pos

"Buruk muka cermin dibelah". Peribahasa lama ini memiliki arti seseorang yang menyalahkan buruknya keadaan dirinya kepada orang lain, padahal kesalahan dirinyalah yang membuat kondisi itu terjadi. Peribahasa lama ini cocok dilekatkan pada politisi PDIP Djarot Saiful Hidayat yang menuding Akhyar Nasution yang bergabung ke Demokrat sebagai pengkhianat.

Selain itu, kekecewaan Djarot terhadap Akhyar juga merembet dan menyinggung institusional Partai Demokrat. Pindahnya Akhyar ke Demokrat dituding sebagai pencitraan 'katakan tidak pada korupsi' yang merupakan tagline Demokrat pada Pemilu 2014.

Jika ditilik secara jernih, mundurnya Akhyar dari PDIP tak bisa dilepaskan dari mulusnya langkah Gibran Rakabuming Raka di Pilwakot Solo dan 'ambisiusnya' menantu Jokowi di Pilwakot Medan. Lihat saja Achmad Purnomo yang telah didukung akar rumput PDIP Solo, harus pasrah dengan putusan politik karpet merah. Padahal, sebelumnya perjanjian telah dibuat. Bila kader PDIP Solo mampu memenangkan PDIP dengan persentase tertentu di Pemilu 2019, maka DPC Solo mempunyai hak untuk mengusung calonnya sendiri.

Sebagai seorang kader yang merintis karir politik dari bawah, tentunya politik karpet merah adalah sesuatu yang dianggap merusak proses kaderisasi dan demokrasi. Jika boleh menggunakan diksi 'berkhianat', seharusnya PDIP lah yang seharusnya paling tepat disebut berkhianat atas label demokrasi yang disematkan di nama partainya. PDIP nyata-nyata melanggengkan praktek politik kekuasaan/dinasti ketimbang mengedepankan demokrasi.

Berbicara terkait tagline 'katakan tidak pada korupsi' yang digunakan Demokrat di Pemilu 2014, seharusnya PDIP khususnya Djarot belajar kepada partai berlambang mercy ini. Masuknya nama mentereng tokoh Demokrat dalam jerat KPK dalam rentang kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2014-2019 adalah fakta kuat bahwa tagline tersebut bukan sekedar janji politik semata. SBY membuktikan, semua orang sama di mata hukum. Tidak ada yang boleh kebal hukum karena alasan kekuasaan.

Jika waktu itu Demokrat mau, bisa saja partai berlambang mercy ini menyelundupkan kadernya yang terjerat kasus korupsi keluar negeri seperti kader PDIP Harun Masiku yang hari ini tak jelas rimbanya. Tapi hal yang demikian bukan karakter Demokrat. Bagi Demokrat yang konsisten memperjuangkan tuntutan reformasi, hukum harus tetap ditegakkan walaupunpun langit akan runtuh

Sekarang coba bandingkan dengan PDIP. Dari pasca reformasi hingga hari ini, PDIP tetap lekat dengan partai terkorup. Di era PDIP berkuasa jugalah, buronan korupsi bisa lalu lalang keluar masuk Indonesia, sekalipun terpantau dalam bidikan kamera CCTV aparat penegak hukum, seperti kasus Djoko Tjandra.

Jadi, jika PDIP ingin tetap melanggengkan politik kekuasaan, terangkan sajalah kepada publik. Benar dan salah itu hanya tentang bagaimana menjelaskannya pada publik. Bukankah selama ini PDIP sukses meyakinkan publik bahwa partai berlambang banteng itu pro kepada wong cilik meskipun kenyataannya pada saat berkuasa wong cilik justru tercekik?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline