Kasus Hambalang hari ini sepertinya sudah dijadikan komoditi politik. Setiap kali isu ini diangkat, sudah barang pasti hal ini akan dialamatkan kepada Partai Demokrat. Padahal jika merujuk dalam perjalanan kasusnya, ada jejak dosa PDIP juga yang seharusnya diungkap secara terang.
Jejak dosa PDIP di kasus Hambalang terungkap melalui keterangan Muhammad Arifin. Dalam kesaksiannya, ia mengungkapkan ada aliran dana sebesar Rp 2,5 Miliar dari Deddy Kusnidar kepada Bendahara Umum PDIP kala itu, Olly Dondokambey. Kesaksian ini terungkap melalui persidangan Hambalang, di mana PT Adhi Karya di duga melakukan penyuapan terhadap Olly yang saat itu juga menjabat sebagai Pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Olly disebut menerima uang sebesar Rp 2,5 Miliar pada tanggal 28 Oktober 2010 dan Rp 500 juta pada tanggal 27 Desember 2010. Selain itu, Olly sebagai Pimpinan Banggar DPR juga disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab meloloskan anggaran Hambalang yang membengkak hingga Rp 2,5 Triliun. Tidak ada asap kalau tidak ada api, tidak ada korupsi Hambalang kalau Olly selaku Pimpinan Banggar tidak meloloskan anggaran pembangunan wisma atlet itu.
Namun Olly sebagai elite PDIP sepertinya mempunyai ilmu sakti. Bagaimana tidak, Olly menjadi satu-satunya kader PDIP di Indonesia yang menjabat Ketua DPD sekaligus petinggi PDIP. Meskipun terlibat dalam beberapa skandal korupsi lainnya; seperti korupsi E-KTP, Olly bisa disebut jauh dari jangkauan tangan penegak hukum.
Demi kepentingan penyidikan, KPK kala itu menghentikan sementara proyek Hambalang. Namun pada tahun 2016, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Sitimorang menyatakan proyek Hambalang dapat diteruskan kembali. Hal itu sejalan dengan niat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan akan melanjutkan pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat tersebut.
Tapi sudah berlalu empat tahun, niat baik Jokowi selaku pemimpin nasional untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan tidak kunjung terwujud. Hal ini akhirnya menambah deretan panjang janji Jokowi yang tidak bisa ditepati, seperti halnya proyek mobil nasional (Mobnas) Esemka. Hambalang tetap dijadikan ladang "pembusukan" untuk mendeskreditkan lawan-lawan politik.
Secara pribadi, saya tak habis pikir, bagaimana jika dulunya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menjadi Presiden RI "ogah" melanjutkan proyek yang ditinggalkan pemimpin sebelumnya. Misalnya seperti proyek jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa Timur-Madura dan proyek pembangunan jalan Kelok Sembilan di Sumatera Barat yang dimulai di era PDIP (Megawati) berkuasa. Sudah dapat dipastikan, Megawati akan meninggalkan banyak proyek mangkrak yang bisa juga dijadikan candi.
Tapi rakyat Indonesia patut bersyukur, pembangunan di era pemerintahan SBY tidak didasarkan pada ego dan dendam politik. Pembangunan dijalankan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan, yang terbengkalai di era pemimpin sebelumnya kembali dilanjutkan dan diselesaikan pembangunannya. Dengan demikian, secara tak langsung SBY menjaga marwah pemimpin-pemimpin nasional sebelum era pemerintahannya.
Sebagai anak bangsa kita juga sangat bersyukur, penegakan hukum terkait kasus korupsi di era pemerintahan SBY mendapatkan perhatian yang besar. Tak peduli dari kelompok dan parpol mana yang terlibat korupsi, bahkan SBY tak pernah menghambat upaya KPK untuk merompi kuningkan para kadernya jika benar-benar bersalah. Bisa dikatakan, tak pernah ada drama seperti penolakan penyegelan Kantor PDIP oleh KPK seperti beberapa waktu lalu di era pemerintahan SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H