Ketika berbicara kualitas sastra Indonesia yang mendunia, terutama novel atau roman, para akademisi menghubungkannya dengan karya karya Sutan Takdir Alisjahbana, Ahmad Tohari, Mochar Lubis, bahkan Pramoedya Ananta Toer.
Sebenarnya, sastrawan sastrawan Indonesia banyak melahirkan karya karya menakjubkan, sampai menjadi perbincangan dalam dunia sastra Internasional.
Seperti Rendra yang dipeluk haru oleh Pablo Neruda ketika selesai membaca puisinya, seperti karya karya Pram yang dikaji sedemikian giat oleh para Indonesianis di Australia sampai Amerika.
Bahkan seperti novel pertama Eka Kurniawan yang telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Ibrani, Jerman, Taiwan, dan Polandia.
Apakah sastra Indonesia hari ini tenggelam dalam karya novel pop remaja saja? Sastra Indonesia hari ini tidak dipertimbangkan dalam sastra Dunia? Memang, satu sisi, konsumsi bacaan masyarakat kita sangat memprihatikan (kompas.com).
Tetapi, kita sering menghasilkan penulis hebat yang diakui dunia. Walaupun, menjadi penulis secara profesional di Indonesia adalah hal nekat, karena tidak semua orang di Indonesia rutin melakukan konsumsi sastra.
Ibaratnya, seperti koki yang mahir memasak semua jenis makanan dari seluruh dunia, tetapi konsumennya hanya mau konsumsi singkong rebus saja, tidak butuh makanan lain.
Mengenai Eka Kurniawan, Benedict Anderson pernah mengatakan bahwa "Menyenangkan bahwa setelah setengah abad berlalu, Pramoedya Ananta Toer telah menemukan penggantinya." (New Left Review).
Klaim ini sungguh membuat saya penasaran, seorang Ben Anderson yang mengklaim. Akhirnya saya membaca "Corat Coret di Toilet" lalu "Cantik Itu Luka".
Setelah selesai membaca, saya mengerti mengapa Eka Kurniawan begitu dipandang oleh Dunia. Secara kualitas, konten dan narasi narasi yang disampaikan sangat krusial dan kaya akan riset.