Lihat ke Halaman Asli

"Gelantungan" di Pintu Minibus Sejauh 25 Kilometer

Diperbarui: 23 Agustus 2018   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pribadi

Kami dari Kota Bandung, sedang jalan jalan ke Gunung Prau, Dieng. Setelah turun dari Prau, kami ingin mencoba keliling Dieng, ke Telaga Warna, Candi Arjuna, dan Kawah Sikidang. Dieng sangat menarik, kawasan yang hampir sepanjang hari tertutup kabut menawarkan keindahan alam yang unik.

Pengalaman yang didapat dari perjalanan yang spontan selalu menarik untuk diceritakan. Pengalaman berharga yang saya alami tidak melulu berasal dari objek wisata yang populer dan instagramable, pelajaran berharga malah saya dapat dari mini bus "tua" yang ugal ugalan.

Ketika kami sudah keliling Dieng dan ingin pulang, ada sedikit masalah, yaitu kursi bus yang rombongan kami isi sudah ditempati orang. 

Jadi, harus ada yang berdiri dan "menggelantung" di pintu bus. Saya penasaran dengan sensasi "menggelantung" di pintu minibus yang ugal ugalan, saya beranikan untuk mencoba. Walaupun khawatir karena keselamatan yang sangat beresiko, mungkin ketika supir "nge rem" mendadak saya bisa terpental keluar bus, dan mungkin bisa jatuh ke jurang dan terasering Dieng yang tinggi sekali. Ya dipikir pikir banyak resikonya.

Jarak antara Dieng dan Wonosobo sekitar 26 kilometer, cukup jauh. Dengan jalanan yang belok belok, naik turun curam, dan berkabut. Minibus melaju sangat kencang dan cukup "brutal", sepertinya ugal ugalan adalah hal biasa bagi para supir profesional daerah Dieng. 

"Menggelantung" di pintu minibus ini memberi perspektif yang baru dan segar. Ada beberapa pelajaran berharga yang sangat reflektif bagi saya. 

Pertama, di Indonesia ada beberapa hal lucu tentang transportasi publik, bahwa penumpang itu bukan penumpang, tapi muatan. Muatan adalah istilah unik, karena biasanya dipakai sebagai satuan itung bagi barang, bukan manusia. Penumpang bukan manusia, tapi barang. Tidak ada bedanya dengan kardus atau peti kayu. Sehingga, keselamatan transportasi adalah hal klise yang tercantum dalam undang undang saja. 

Di Dieng, saya melihat manusia berjejer menaiki truk buntung terbuka, melewati trek jalan pegunungan yang menukik tajam. Bagi masyarakat Dieng, ini hal yang sangat biasa.

Kedua, para akademisi terlalu sibuk berteori dan berdebat, tidak semuanya turun ke jalanan untuk "menggelantung" di pintu minibus, berdesak desakan di kapal ferry yang kelebihan muatan, atau ikut truk kentang di Dieng yang digunakan sebagai transportasi publik sehari hari. 

Indonesia terlalu luas, tidak semua daerah memiliki akses transportasi yang nyaman. Apakah para peneliti sudah membuat penelitian yang turun ke jalanan? Dari Sabang sampai Merauke?

Ketiga, travelling mengajarkan kita untuk membuka mata terhadap realitas. Seperti "menggelantung" di pintu minibus, perjalanan selalu memberi sudut pandang baru terhadap Indonesia, bahkan dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline