Lihat ke Halaman Asli

Syahrun Ni am A.J.

Manusia Biasa

Analisis Hukum Positivisme terhadap Kasus Penistaan Agama Ahok (2016)

Diperbarui: 25 September 2024   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penegakan Pasal 156a KUHP tentang penistaan Agama di Indonesia Pasal 156a KUHP di Indonesia mengatur tindak pidana penistaan agama. Salah satu kasus ini adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada tahun 2016. Ahok, pada saat itu Gubernur DKI Jakarta, terkait dugaan menistakan agama Islam karena pernyataannya terhadap salah Surat Al maidah saat kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Filsafat hukum positivisme berfokus pada hukum sebagaimana adanya, terlepas dari pertimbangan moral. Dalam kasus Ahok, dari sudut pandang positivisme hukum, hakim menerapkan hukum positif, yaitu Pasal 156a KUHP. Hukum itu sudah ditetapkan oleh otoritas yang sah (legislatif) dan diterima dalam sistem hukum Indonesia.

Penggunaan Pasal 156a KUHP merupakan penerapan hukum yang ada, dan di bawah positivisme, keputusan hakim adalah sah karena mengikuti aturan yang berlaku. Namun, pendekatan ini mengabaikan kritik-kritik moral dan sosial terhadap keadilan substansial dari Pasal 156a KUHP.

Mazhab hukum positivisme adalah aliran pemikiran dalam filsafat hukum yang menyatakan bahwa hukum adalah peraturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah, dan sahnya hukum tidak bergantung pada nilai-nilai moral. Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah dari moralitas, agama, atau etika, dan harus dipatuhi karena kekuasaan yang membuat dan menerapkannya.

Salah satu tokoh yang terkenal dari mazhab ini adalah John Austin dan H.L.A. Hart. Austin menekankan bahwa hukum adalah perintah dari yang berkuasa, sedangkan Hart menambahkan bahwa hukum adalah sistem aturan yang diterima secara sosial dan berlaku dalam masyarakat.

Hukum di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh mazhab positivisme karena banyaknya penerapan hukum yang lebih berorientasi pada undang-undang dan peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Namun dalam kasus ini, pendekatan positivisme juga tidak selalu mencerminkan keadilan substantif. Positivisme murni mungkin sulit diterapkan secara utuh dalam konteks negara dengan keragaman sosial dan politik seperti Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline