Lihat ke Halaman Asli

Suparmin

Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Pak Nyaman yang Enggan Belajar

Diperbarui: 1 Agustus 2024   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi Penulis bersama mahasiswa PPG Prajabatan UNM

Mari kita berkisah tentang diri. Ini refleksi untuk diri. Menjadi candu bagi pembenci dan akan menjadi madu bagi yang haus dinamisasi. Yuk, kita mulai kisahnya.

Di balik meja berwarna coklat berdebu, tumpukan buku tersusun rapi. Di bagian bawah susunan ada buku tebal diikuti buku tipis dan pada bagian puncak lembaran-lembaran kertas menutup tumpukan itu. Pak Nyaman, sang guru hebat, duduk termenung, matanya kosong menatap halaman usang. Tatapannya tanpa arah. Sesekali berkedip agar tatapan itu terus awet. Debu berterbangan di udara, bagaikan melambangkan pikirannya yang terjebak dalam kebekuan pengetahuan. Tangannya menepis debu-debu itu agar tak hinggap di hidung dan terhirup ke kerongkongan. Jika gagal, paru-paru akan menjadi tempat bersemainya debu-debu.

Pak Nyaman telah mengajar selama puluhan tahun. Dedikasi dan semangatnya dahulu membakar asa murid-muridnya. Semua itu menjadi kebanggan baginya. Pak Nyaman merasa nyaman. Seiring waktu, api itu mulai padam. Pak Nyaman berhenti mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, terjebak dalam zona nyaman rutinitas lama. Merasa bahwa apa yang telah diketahui dan dilakukannya sudah membuat peserta didiknya aman. Pak Nyaman juga selalu bangga dengan hasil belajarnya dulu. Sepertinya beliau lupa, zaman terus berubah. Pilih mengikuti zaman atau tergerus olehnya. 

Lambat laun, peserta didik Pak Nyaman mulai merasakan perubahan ini. Penjelasan Pak Nyaman terasa usang, tak sejalan dengan dunia yang terus berkembang. Mereka pun mulai kehilangan minat belajar, bagaikan bunga yang tak lagi disiram, perlahan layu dan mati. Ruang-ruang belajar rasanya semakin hampa. Peserta didik lesu, kehilangan semangat belajaranya. Pak Aman cuek saja. Sesekali dia mengeluh, menyalahkan zaman. Menjadikan kurikulum sebagai kambing hitam agar dirinya tetap benar dalam perjalanan yang keliru. 

Kisah Pak Nyaman adalah cerminan bahaya yang mengintai seorang pendidik jika enggan belajar. Pengetahuannya yang stagnan akan menghambat kemajuan peserta didiknya, bagaikan rem yang menahan laju kereta di tanjakan. Di tangan pendidik yang tak mau belajar, masa depan generasi muda terancam terkubur dalam kubangan kebodohan. Anehnya lagi, Pak Nyaman terus menggorogoti perubahan yang ada. Menyalahkan setiap dinamisasi yang terjadi. Menganggap perubahan itu kekeliruan, sesuatu yang dibuat-buat dan dipaksanakan. Sibuk mencari celah kekeliruan dibanding memanfaatkan potensi yang bisa dikembangkan. 

Ingatlah, Pak Nyaman, tugas seorang pendidik tak ubahnya lautan luas. Semakin ia menyelam, semakin banyak mutiara ilmu yang ia temukan. Jangan biarkan diri kita terjebak di tepi pantai, terpaku pada pengetahuan yang terbatas. Teruslah belajar, Pak Nyaman, demi dirimu, demi dinamisasi pada peserta didik, demi masa depan bangsa ini. Ingat, saya selalu teringat perbincangan sore itu, Indonesia emas jika tidak dipersiapkan dengan SDM yang baik, bisa jadi berubah menjadi petaka bagi bangsa sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline