Lihat ke Halaman Asli

Suparmin

Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Hidung Belang

Diperbarui: 16 Mei 2023   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Tribunjabar.id 

Pernah mendengar istilah "hidung belang"? atau bahkan Anda yang sedang menatap dan membaca tulisan ini yang pernah dipanggil dengan sebutan tersebut? Ataukah mungkin kalian pernah memanggil seseorang dengan penggilan "pria hidung belang"? Lalu, apa sebenarnya makna lema "hidung belang" dan bagaimana asal usul kata tersebut. Baik, mari kita lanjutkan. Jangan lupa mengemil sambil meningat-ingat kenangan Anda, ya!

Jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah hidung belang merujuk pada laki-laki yang gemar mempermainkan perempuan. Kata kuncinya ada dua; laki-laki dan mempermainkan perempuan. Lalu, apa hubungan antara hidung belang dengan kesukaan mempermainkan perempaun? Alwi Shahab menyebut istilah hidung belang berasal dari sebuah kejadian di tahun 1629. Saat itu, Batavia digegerkan oleh sebuah skandal yang melibatkan dua sejoli: Sara Specx dan Pieter J. Cortenhoeff. Sara atau sering dipanggil dengan nama Saartje merupakan putri pejabat VOC yang bernama Jaques Specx. Ketika Sara memasuki usia 13 tahun, Sara menjadi perempuan dengan wajah cantik nan menawan. Kecantikan bak mawar yang baru mekar ini juga menyiratkan perpaduan antara Barat dan Timur. Tidak aneh jika saat itu Sara menjadi buah bibir dan dambaan para calon perwira muda VOC. Salah satu calon perwira yang tergila-gila itu bernama Pieter J. Cortenhoeff. Pieter juga memiliki wajah tampan nan rupawan. Ternyata, ketampanan itu, menjadikan Sara tertarik pula kepada Pieter. Cinta Pieter tak bertepuk sebelah tangan. Gayung bersambut. Pieter berhasil menggaet pandangan dan hati Sara. Mereka lantas menjalin hubungan percintaan diam-diam.

Nah, ternyata hal ini diketahui oleh sang gubernur. Dia memergoki sendiri Sara dan Pieter sedang 'berdua-duaan' di salah satu ruang kastil. Gubernur Coen sangat marah karena memang beliau membenci segala bentuk pencabulan. Sikap berang dan rasa malu Coen terhadap kejadian tersebut, dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua tiang gantungan sekaligus di depan Stadhuisplein (Gedung Museum Fatahillah). Pengadilan kala itu turun tangan. Para hakim meminta Coen untuk mengadili sebelum melakukan eksekusi. Jadilah hukuman untuk Sara, anak angkatnya, lebih ringan. Dia dijatuhi hukuman cambuk dan Pieter harus dipancung. Singkatnya, setelah Sara menjalani hukuman, giliran Pieter yang digiring oleh para algojo. Setelah diikat dalam sebuah tiang pancang, leher pria tampan dan setia itu, 17 tahun, langsung dipenggal. Sebelum dipenggal, Gubernur Coen dan para algojo mencoreng wajah Pieter dengan arang. Hal ini dilakukan, boleh jadi, sebagai bentuk kebencian terhadap perilaku cabul. Kepala Pieter menggelinding dengan coretan di hidungnya. Orang-orang yang melihat kala itu sontak berucap hidung belang dan istilah itu hidup hingga kini sebagai sebutan bagi lelaki cabul. Akan tetapi, saya merasa bahwa istilah hidung belang seharusnya mengalami pergeseran (perluasan) makna. Kata "lelaki" mesti dihilangkan karena betapa banyaknya perempuan zaman ini yang juga bejat dan suka mempermainkan lelaki. Toh, Sara sebenarnya tidak dipermainkan oleh Pieter, tetapi ada rasa yang sama, saling mencinta, hubungan tanpa paksa, pun dua-duanya dihukum. Apakah Anda sepakat? Sesekali gunakanlah frasa "pria hidung belang" dan jika harus, bukan tidak boleh gunakan frasa "perempaun hidung belang". Terima kasih.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline