H-1, Saatnya Pembagian "Amplop"
Suparmin[1]
Enam belas April 2019. Tepat sehari lagi kita akan melakukan pesta demokrasi. Layaknya sebuah pesta, selalu ada keramaian. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan sejak hari Ahad, 14 April 2019 sebagai masa tenang.
Para calon, baik presiden, DPD, maupun calon legislatif, tidak lagi diperbolehkan untuk melakukan tatap muka sebagai bentuk kampanye. Begitupun dengan alat kampanye, semua telah diturunkan.
Selama tiga hari, pengawas pemilu melakukan penertiban dan pembersihan terhadap seluruh alat peraga kampanye yang belum dibersihkan oleh calon sendiri hingga masuk masa tenang.
Masa tenang. Memaknai frase ini, berarti mestinya semua bisa menahan diri. Para calon beserta tim kampanyenya mesti lebih banyak beristirahat dan memperbanyak ibadah serta doa dan berharap semoga banyak pemilih yang mencoblos namanya di bilik suara nanti. Ini harapan kita bersama.
Akan tetapi, harapan ini hampa. Ternyata, masa tenang ini hanyalah istilah yang sudah berubah makna. Masa tenang hanyalah menghilangkan hiruk pikuk retorika dari para calon baik melalui media cetak, internet, maupun panggung-panggung kampanye.
Di media cetak, tidak lagi ditemukan iklan para pembual menawarkan Indonesia sejahtera yang banyak menggunakan kata-kata bombastis. Di media sosial, pertarungan antara 'cebong' dan 'kampret' juga sudah mulai mereda.
Akan tetapi, sekali lagi, ternyata masa tenang dimaknai oleh para calon legislatif untuk memengaruhi calon pemilih dengan cara yang hina. Hina karena tidak menggunakan akal sehat. Hina karena jelas dilarang dengan keras dalam agama. Hina karena mereka telah mencederai proses demokrasi.
Hina karena mereka telah berkawan dengan setan. Hina karena kegiatan ini adalah cikal koruptor di Negara ini. Pemilih yang menerima sogokan pun masuk dalam lingkaran pemilih hina. Dihargai dengan selembar uang seratus ribu rupiah, seliter gula, secarik jilbab murahan, atau sekilo minyak goreng yang hampir kadaluarsa.