Malam itu, aku memutuskan untuk tidak lagi menghubungimu. Pelan-pelan, harapan yang dulu kusimpan mulai kuhapus, meski berat. Ada alasan di balik keputusanku ini, aku merasa sikapmu berubah akhir-akhir ini. Entah itu hanya perasaanku saja, atau memang kenyataan.
Setelah mengumpulkan keberanian, aku mencari nomormu dan melakukan panngilan, sekedar mendengar suara indah yang sering kurindukan. Namun, panggilan itu kau tolak. Alasannya, kau bilang sedang bersama teman. Padahal sebelumnya kau bilang sibuk mengerjakan tugas dan tak bisa diganggu.
Awalnya, aku percaya. Namun, ketika panggilanku kau tolak untuk alasan lain, aku tersadar. Mungkin, aku memang tak lagi berarti. Mungkin, kehadiranku hanyalah gangguan bagimu. Tak terasa, ada luka kecil yang menyelusup perih karena kebohonganmu.
Bukankah dari awal aku sudah bertanya? Kau selalu bilang, tak ada orang spesial dalam hidupmu saat ini. Andai saja aku tahu sejak awal bahwa hatimu sudah dimiliki orang lain, mungkin aku tak akan bertahan sejauh ini. Tak akan kubiarkan perasaan ini tumbuh lebih dalam.
Aku tak pernah menyesal mengenalmu. Kau yang penuh tawa dan canda, sosok yang membuatku merasa nyaman. Namun, aku sadar, pada akhirnya bukan aku yang kau inginkan. Dan aku pun ingat prinsipku sendiri, "Jangan mendekati kekasih orang lain."
Maafkan aku jika caraku menjauh terasa kasar. Namun, inilah satu-satunya jalan agar kebahagiaanmu tetap utuh, tanpa harus terganggu oleh kehadiranku.
Aku bersyukur pernah mengenalmu. Kau yang berhasil memberi warna dalam hari-hariku yang dulu terasa kelabu. Seperti mimpi yang datang tak terduga. Malam itu, kutinggalkan pesan terakhir untukmu, "Semoga bahagia dengan pilihanmu." Dan setelah itu, aku berhenti membalas pesanmu. Bukan karena aku tak ingin, tapi karena aku harus. Agar kau tak lagi terganggu oleh kehadiranku.
Pesan-pesanmu masih kubaca. Namun, maaf, aku tak punya keberanian lagi untuk membalasnya, apalagi mengangkat panggilanmu. Tak apa jika kau menganggapku jahat. Tapi ketahuilah, ini bukan keinginanku. Bersamamu adalah kebahagiaan bagiku, meski aku tak pernah bisa memilikinya. Lebih baik aku menanggung luka ini sendiri dan melihatmu bahagia dengan pilihanku.
Jika ditanya, apakah aku bisa melupakanmu? Jawabannya masih tidak. Aku bahkan masih berharap suatu saat kau kembali hadir dalam hidupku. Aneh memang. Tapi aku tak tahu harus bagaimana lagi.
Ketika aku mulai merasa bersalah dengan keputusanku ini, seseorang tanpa sengaja menyampaikan padaku bahwa sejak dulu kau sudah memiliki hubungan dengan seseorang. Hatiku semakin hancur, tersadar bahwa selama ini aku hanyalah kebohongan. Tapi jujur, aku berterima kasih. Terima kasih karena kau telah membohongiku tanpa sengaja. Ssetidaknya, kau memberiku alasan untuk pergi.