Setelah melakukan penyerangan yang mereka sebut sebagai 'kesalahan yang mematikan' pada kamp pengungsian di Rafah, Israel kembali meluncurkan serangannya. Kali ini, sebuah kamp pengungsian yang terletak di Nuseirat, Gaza Tengah, Palestina menjadi targetnya. Pernyataan yang dirilis oleh Kantor Media Pemerintahan Gaza mengatakan bahwa setidaknya 210 orang terbunuh pada penyerangan tersebut.
Kementerian Kesehatan Gaza juga menyatakan bahwa korban tewas dan luka-luka akibat serangan tersebut mencapai angka yang besar, dengan mayoritas dari mereka merupakan anak-anak dan wanita. Memang benar bahwa melalui serangan tersebut, Israel dapat membebaskan 4 orang sandera dari pihak mereka. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat menutupi betapa jelasnya penambahan daftar panjang pelanggaran Israel terhadap International Humanitarian Law. Bahkan jika ditelusuri jauh ke belakang, Israel telah melakukan itu selama lebih dari 100 tahun.
International Humanitarian Law (selanjutnya disebut sebagai Hukum Perang Internasional) ditetapkan pada Konvensi Jenewa tahun 1949 dengan persetujuan dari 196 negara di seluruh dunia. Mari kita coba ulik seberapa jauh Israel telah melanggar hukum perang yang berlaku secara universal tersebut.
Dalam penerapannya, Hukum Perang Internasional memiliki tiga prinsip utama. Ketiga prinsip tersebut adalah Pembedaan, Proporsionalitas, dan Kehati-hatian. Penjelasan lebih detail terkait prinsip-prinsip tersebut dijelaskan oleh International Committee of The Red Cross (ICRC) dalam sebuah video YouTube yang diunggah di akun resmi mereka.
Prinsip Pembedaan memiliki arti bahwa pihak militer yang tengah berperang harus melakukan pembedaan antara masyarakat dan objek sipil dengan objek militer. Serangan yang boleh dilakukan dalam perang hanyalah serangan terhadap objek militer, sementara masyarakat dan objek sipil pihak yang dilarang untuk diserang. Melakukan serangan tanpa pembedaan (dalam artian menyerang seluruh pihak musuh tanpa membedakan antara sipil dan militer) adalah hal yang sangat terlarang.
Kita tentu saja tidak dapat menutup mata dari fakta-fakta yang terjadi bahwa serangan yang dilakukan oleh Israel selama ini merupakan serangan tanpa pembedaan. Mereka tidak mengindahkan prinsip pembedaan yang ada dalam hukum perang internasional yang telah diakui secara universal.
Dalih yang selalu mereka gunakan adalah bahwa pihak militer bersembunyi di tengah masyarakat. Menurut mereka, militer yang mereka lawan bersembunyi di pemukiman sipil, sekolah, bahkan rumah sakit. Namun, apakah mereka pernah memberikan bukti yang kuat dan benar akan dalih tersebut? Tidak, mereka tidak pernah sekalipun melakukan itu. Pembuktian terakhir yang mereka lakukan bahkan berujung pada pengeksposan kebodohan prajurit mereka yang mengira kalender sebagai daftar nama lawan militer. Entah apa yang dipikirkan orang-orang yang masih percaya akan kebodohan tersebut.
Beralih pada prinsip kedua, proporsionalitas. Dalam prinsip ini, serangan terhadap objek militer bisa berubah menjadi sesuatu yang terlarang jika serangan tersebut dapat mengakibatkan kerugian pada masyarakat sipil, baik itu kerugian material maupun korban jiwa. Prinsip ini menambah kejelasan bahwa dalil yang digunakan Israel untuk menyerang tempat-tempat umum seperti sekolah dan rumah sakit sebenarnya tidak dapat dibenarkan, karena serangan tersebut akan secara langsung berdampak pada masyarakat sipil. Jadi, apa yang mereka lakukan tetaplah sebuah pelanggaran.
Selanjutnya pada prinsip Kehati-hatian, pihak yang akan melancarkan sebuah operasi militer diharuskan untuk memberikan perhatian konstan terhadap keselamatan objek dan masyarakat sipil. Di sini ditekankan bahwa pihak militer harus memastikan bahwa target penyerangan adalah benar-benar pihak militer dan objeknya, bukan masyarakat sipil. Jika dalam pelaksanaannya diketahui bahwa yang diserang ternyata bukanlah pihak militer, maka serangan harus dihentikan untuk kemudian memberikan peringatan pada masyarakat sipil yang ada akan kemungkinan serangan yang akan datang.
Selama penyerangan yang Israel lakukan terhadap Palestina, pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian selalu berusaha mereka hindari dengan berdalih bahwa serangan tersebut merupakan sebuah kesalahan. Kemudian, mereka mengatakan bahwa akan melakukan investigasi terhadap penyerangan tersebut hanya untuk kembali melakukan kesalahan yang lama. Hal tersebut mereka lakukan secara terus menerus, hingga akhirnya korban masyarakat sipil yang telah mereka renggut nyawanya telah mencapai jumlah yang sangat besar. Data terakhir Kementerian Kesehatan Gaza pada 8 Juni 2024 menunjukkan bahwa sedikitnya 36.801 nyawa penduduk Palestina telah hilang. Mereka merupakan korban dari pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Israel melalui genosida.
Lantas, apakah tindak pembunuhan terhadap lebih dari 200 nyawa manusia hanya untuk menyelamatkan 4 sandera dapat menjadi sesuatu yang dibenarkan dan patut untuk dirayakan keberhasilannya? Tentu saja tidak. Namun, Israel sepertinya telah kehilangan seluruh rasa malunya dengan rekam jejak pelanggaran yang telah mereka lakukan. Begitu pula dengan negara-negara yang masih memberikan dukungan pada mereka. Tidak ada hukuman, tidak ada upaya penghentian. International Humanitarian Law yang mereka sepakati 75 tahun lalu sepertinya telah benar-benar hilang dari hati dan pikiran mereka.