Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, periode 2017-2022, Anies Baswedan (Anies) dan Sandiaga Uno (Sandi), belum genap satu bulan memimpin Provinsi Ibu Kota. Sekalipun demikian, Anies dan Sandi sudah mampu menempatkan diri mereka juga dalam indeks berita populer dari media-media publik, termasuk dalam pembicaraan masyarakat banyak.
Bangunan kepopuleran Anies dimulai dengan pidatonya tentang pribumi - non pribumi pasca pelantikannya sebagai gubernur. Kemudian berlanjut dengan serial dalih dan diplomasinya yang ajaib bin tumpang tindih dalam persoalan negosiasi pembebasan lahan dengan Mahesh Lalmalani atau penutupan Hotel Alexis.
Kemudian disusul dengan beberapa riset terbarunya tentang kebun teh sebagai penyebab banjir, atau pedestrian sebagai penyebab kemacetan lalulintas, atau proyek-proyek infrastruktur yang tak beramdal sebagai penyebab kemacetan, atau trotoar sebagai tempat yang layak untuk pergelaran seni dan budaya.
Dalam lingkaran kepopulerannya, Anies juga ditautkan dengan deretan reformulasi konsep rumah ber-DP 0 %. Mulai dari rumah tapak, kemudian rumah vertikal dan sekarang rumah berlapis. Dan di dalam pusaran persoalan-persoalan di atas, para Wali Kota dituntut oleh Anies untuk mencari solusi atasnya. Mengapa? Sebab untuk persoalan-persoalan itulah mereka--para Wali Kota--dipilih, dll.
Sedang kepopuleran Sandi, pasca dilantik, sudah mulai terbentuk manakala persoalan diskresi dan sayembara tentang sepatu pantofelnya mencuat. Kemudian disusul dengan ceritanya tentang 'kepala negara' saat terjadi adu mulut dengan ojek pangkalan. Kemudian berlanjut dengan impian Sandi tentang pasukan langit, atau tentang hotel-hotel syariah yang bisa menampung para ex pekerja Hotel Alexis.
Kopopuleran Sandi juga ditautkan dengan prakarsanya yang ajibsaat ia melibatkan kelompok-kelompok ormas dan para preman, termasuk menggunakan data gambar dari drone yang diterbangkan di sekitar kawasan udara Tanah Abang, untuk memecah persoalan kesemrawutan laku PKL (Pedagang Kaki Lima) dan kemacetan lalulintas secara permanen di Tanah Abang, dll.
Boleh jadi, deretan statemen dan gagasan politik dari Anies dan Sandi di atas merupakan hasil dari sebuah permenungan yang serius dan dalam untuk merealisasi kosep politik yang mereka cita-citakan, 'Maju Kotanya, Bahagia Warganya'.
Tetapi problemnya adalah isi dari statemen dan gagasan politik Anies-Sandi cenderung tumpang tindih, absurd, dan cepat sekali berubah dalam waktu yang relatif singkat.
Mungkin untuk alasan inkosistensi dan absurditas itulah maka separuh publik kemudian menerima atau merespon setiap statetemen dan gagasan politik Anies-Sandi dengan sense of humor. Maksudnya, kritik publik sebagai bentuk kekecewaannya atas 'ketidakjelasan' program-program Anies-Sandi coba disampaikan dengan sindiran-sindiran kocak khas dunia komedi-an.
Dalam catatannya tentang Komedi dan Politik, Agus Noor menulis bahwa 'Bila petinggi Negara, seperti presiden, ingin mengetahui apakah ia dicintai, disukai, oleh rakyatnya, maka ia jangan tanya pada para ajudan atau menterinya. Tapi simaklah humor-humor tentang dirinya....bila mulai banyak lelucon politik seputar seorang pemimpin, maka sudah suharusnya pemimpin itu insyaf: untuk segera memperbaiki diri!'
Tentu saja, terlampau dini menghakimi atau menuntut Anies-Sandi untuk bertanggungjawab atas beberapa chaos sosial yang kembali marak di Ibu Kota saat ini. Misalnya, PKL yang kembali menguasai trotar, atau kembali maraknya tenda-tenda liar di tempat bekas penggusuran, atau sampah yang kembali memenuhi aliran-aliran sungai.