Lihat ke Halaman Asli

Jokowi dan Penyederhanaan Pengamalan Pancasila

Diperbarui: 11 Juni 2016   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Soekarno/PENA SOEKARNO/penasoekarno.wordpress.com

1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Demikian keputusan yang dibuat Joko Widodo (Jokowi), Presiden Indonesia. Penetapan itu dibuat di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 1 Juni 2016. Dengan penetapan ini, selesailah sudah perdebatan soal 1 Juni, 22 Juni, atau 18 Agustus sebagai hari lahir Pancasila.

Dalam banyak literatur sejarah, para penulis menuturkan bahwa Pancasila dirumus dan dibacakan untuk pertama kali oleh Ir. Soekarno di hadapan Dokuritsi Jumbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Dan tiga bulan kemudian, pasca pidato Ir. Soekarno di depan Dokuritsi Jumbi Cosakai, kemerdekaan bangsa ini diproklamasikan.

Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, bahkan sudah "siap pakai" sebagai dasar dan ideologi negara pada waktu bangsa Indonesia secara "resmi" diakui sebagai sebuah negara yang berdaulat, bebas dan merdeka di 17 Agustus 1945.

Kelahiran Kembali

Usia kemerdekaan bangsa ini hampir mencapai 71 tahun. Pun usia Pancasila saat ini sejatinya sudah mencapai 71 tahun, jika dihitung menurut catatan sejarah sebagaimana disebut di atas. Lantas, mengapa kita sebagai sebuah bangsa baru mengakui keterlahiran Pancasila sekarang ini?

Pertanyaan tersebut menyeret kita masuk dalam cara pikir naif berikut. Borok dan luka sosial yang terjadi selama ini baik pada level eksekutif, legislatif, yudikatif maupun mayarakat sipil merupakan refleksi dari "ketidakpengakuan" atas presensi Pancasila. Kalau kehadirannya tidak/belum diakui, lalu bagaimana kita bisa menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya? Itu poin retorisnya.

Namun, pemahaman atas sikap pengakuan akan keterlahiran Pancasila jauh lebih luas dari kasak-kusuk retoris. Makna pengakuan akan keterlahiran Pancasila juga jauh lebih luas dari aktus menghitung angka ulang tahun seseorang yang tertera dalam sebuah lembaran akta kelahiran.

Dengan demikian, peristiwa akbar 1 Juni 2016 di Bandung layak dimaknai sebagai peristiwa kelahiran kembali (baca: pembaharuan). Kelahiran kembali sikap pemaknaan, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ihwal kelahiran kembali sudah seharusnya menjadi imperatif moral bagi seluruh rakyat Indonesia. Saat ini, hemat saya, aktus kelahiran kembali adalah pilihan paling rasional dan realistis.

Revolusi Mental/Yohanes Gitoyo.dok

Mengapa Perlu"Lahir Kembali"?

Tanpa mengabaikan capaian-capaian positif yang sudah diraih bangsa ini, juga tanpa maksud menyebarkan aliran pesimisme apalagi mensugesti tabiat negative thinking atas bangsa ini dalam komunitas sosial, saya coba mengurai "bawaan" empat momentum sosial-politik berikut sebagai alasan mengapa aktus kelahiran kembali dibutuhkan sekarang ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline