Lihat ke Halaman Asli

30 Menit di Universität Wien-Austria dan Hipotesis Tentang Ahok

Diperbarui: 30 Mei 2016   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Universitas Vienna/Красивое здание/Traveler photo/ Вена, Jun 2015/Dmitrii S.

Kemarin, 23 Mei 2016, saya mengunjungi teman lama saya di Sint Gabriel, Mödling-Austria. Dari Nitra-Slovakia, tempat tinggal saya saat ini, ke Sint Gabriel tidak begitu jauh. Kurang lebih dua jam perjalanan dengan kereta api. Untuk sampai ke Sint Gabriel, saya melewati kota Vienna. Mumpung ada kesempatan, saya memutuskan untuk turun di stasiun Düsseldorf dan mengunjungi beberapa tempat menarik di kota Vienna.

Di kota Vienna, ada begitu banyak tempat eksotis. Saya sebut beberapa tempat yang sempat saya kunjungi. Graben dan Kohlmarkt, Katedral St. Stephen (Stephansdom), Istana Schonbrunn (Schloss Schonbrunn), Kebun Istana Schonbrunn, Museum dan Istana Belvedere Stephansplatz, Istana Keadilan (Justizpalast) dan Universitas Vienna (Universität Wien).

Soal Universitas Vienna. Universitas Vienna merupakan almamater dari Karl Raimund Popper (1902-1994). Karl Raimund Popper (Popper) dikenal luas publik sebagai seorang filsuf dan penggagas prinsip falsifikasi dalam ilmu pengetahuan.

Prinsip falsifikasi adalah metode pengujian dan pembuktian kebenaran hipotesis tertentu dengan cara mencari data-data yang bisa meruntuhkan atau membuktikan kesalahan hipotesis tersebut. 

Kebenaran sebuah hipotesis menjadi sahih bila berhasil melewati proses "dapat dibuktikan salah". Konsentrasi dari peneliti dengan prinsip falsifikasi adalah mengobservasi fakta-fakta anomali.

Jauh sebelum prinsip falsifikasi lahir, sudah ada prinsip verifikasi yang dikembangkan kelompok positivistik (JS Mill, August Comte, Saint Simon, dll). Dalam prinsip verifikasi, seorang peneliti menguji kebenaran hipotesis tertentu dengan cara mencari data-data yang mendukung kebenaran hipotesis tersebut. Dengan perkataan lain, peneliti dengan prinsip verifikasi tidak menghiraukan fakta-fakta anomali melainkan pada fakta-fakta pendukung hipotesis.

Untuk membedakan verifikasi dan falsifikasi, kita ambil contoh berikut. Pak Bagas memiliki sebelas orang anak, hasil dua kali menikah. Di sini, kita sebut saja hipotesisnya: Semua anak Pak Bagas berambut Keriting. Untuk menguji kebenaran hipotesis ini, seorang peneliti dengan prinsip verifikasi akan mendata anak-anak Pak Bagas yang berambut keriting saja. Tidak yang lain. Anak-anak Pak Bagas yang berambut keriting dijadikan sebagai data yang mendukung sekaligus membenarkan hipotesis Semua anak Pak Bagas berambut keriting.

Sedang bagi peneliti dengan prinsip falsifikasi, ia akan berusaha mencari tahu anak Pak Bagas yang berambut lurus. Katakan saja, peneliti menemukan salah satu anak Pak Bagas, sebut saja Hendra, dari perkawinannya yang pertama, berambut lurus. Jika demikian, maka hipotesis di atas telah "dibuktikan salah". 

Sebab, Pak Bagas juga memiliki anak yang berambut lurus, meskipun hanya satu saja. Jadi, hipotesis itu perlu direformulasi supaya kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Reformulasi hipotesis itu berbunyi: Anak-anak Pak Bagas berambut keriting kecuali Hendra. Itu cerita di depan Universitas Vienna-Austria.

Istana Schonbrunn Vienna/dok.pribadi

Dari Vienna saya melanjutkan perjalanan menuju Sint Gabriel. Di atas metro, teman jalan saya, handphone, menceritakan banyak hal tentang tanah air Indonesia. Salah satunya adalah pembuktian terbalik ala Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta.

Dalam sistem pembuktian terbalik, sebagaimana terjabar dalam UU No. 31 Tahun 1999 atau UU No. 20 Tahun 2001, hak dan kewajiban seorang tertuduh tidak hanya diakomodir tapi juga diatur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline