Laki-laki yang sedang tidur di sampingku ini namanya Gama. Dia tengah larut dalam imajinasinya semenjak aku jejali buku setebal papan talenan.
Aku turut merebahkan diri sembari menatap langit-langit yang mulai kecoklatan. Di beberapa titik terlihat bekas rembesan air hujan yang mirip bekas iler pada bantal.
Aku dan Gama bukan sepasang kekasih apalagi suami istri, bukan. Kita hanya sepasang kenal, sepasang pria dan wanita beda usia, sepasang wadah berbagi mulut dan telinga dan sepasang ketidakpastian.
Dulu aku berniat mencintainya. Hanya sebatas niat, karena kini aku malah berniat untuk benar-benar mencintainya. Tolong diam saja jangan bilang-bilang. Jika Gama sampai tahu berarti itu tanggung jawab kalian.
Aku meregangkan kedua lenganku. "Sepertinya aku butuh makan."
Gama melirikku sekilas, kemudian membalik lembar ke sekian buku bacaannya.
Aku beranjak turun dari ranjang kemudian duduk di sofa dekat jendela. Dari jendela apartemen Gama, aku bisa dengan jelas menyaksikan lalu lalang manusia dan kendaraan. Sebagian terlihat seperti mobil balap mainan, sebagian lainnya terlihat seperti gerombolan semut warna warni, tapi tentu saja warna hijau yang paling mendominasi.
"Una..." Panggilnya.
"Iya."
"Mau masak?"