Lihat ke Halaman Asli

amirullah suhada

let's write!

Belajar Ekonomi: Pertumbuhan vs Stabilisasi Nilai Tukar

Diperbarui: 6 Oktober 2015   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Cuma ada empat tujuan yang ingin diraih dalam kebijakan makroekonomi. Tujuan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penyerapan tenaga kerja yang optimal, inflasi terkendali, dan nilai tukar yang stabil. Apapun langkah yang diambil dalam kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, tujuan utama yang ingin dicapai cuma empat tujuan itu.

Apa itu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter? Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemasukan dan belanja negara. Kebijakan ini diperankan Kementerian Keuangan melalui kebijakan pajak, cukai (pemasukan) dan belanja (pengeluaran) negara. Gampangnya, kebijakan fiskal pemerintah bisa terlihat dari APBN. Sementara kebijakan moneter adalah kebijakan uang beredar yang dilakukan untuk mengendalikan inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

Mencapai keempat tujuan di atas adalah sesuatu yang ideal. Namun, tujuan-tujuan itu tak akan pernah dicapai bersamaan. Ada pilihan yang dilematis (trade off) diantara tujuan-tujuan itu. Di saat satu tujuan ingin dicapai, tujuan yang lain harus siap-siap jadi korban. Di sinilah otoritas moneter dan otoritas fiskal dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang jauh dari ideal.

Contoh paling mudah adalah kasus Indonesia saat ini. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang menciut, tentu saja pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi kembali meningkat. Salah satu caranya adalah merangsang dunia usaha untuk bergeliat. Rangsanglah mereka dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam berbisnis. Bergeliatnya dunia usaha (sektor riil) akan memutar roda ekonomi sehingga pertumbuhan meningkat.

Otoritas moneter dan otoritas fiskal bisa memainkan peran untuk merangsang bergeliatnya sektor riil itu. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia bisa memainkan peran melalui instrumen suku bunga acuan (BI rate). Caranya dengan menurunkan BI rate. Penurunan BI rate akan memicu penurunan tingkat suku bunga perbankan. Dan ini pasti direspon positif pelaku usaha karena akan membuat mereka lebih berani mengajukan kredit ke bank untuk membiayai bisnis atau melakukan ekspansi usaha.

Sayangnya, menurunkan BI rate adalah pilihan yang musykil dilakukan BI di saat pelemahan rupiah terjadi. Sebab, penurunan BI rate justru akan semakin memperlemah nilai tukar rupiah. Investor pemegang portofolio investasi (seperti obligasi, surat utang negara) akan melarikan dananya ke luar negeri alias terjadi capital outflow. Mereka akan menanamkan modalnya di negara yang memberikan tingkat suku bunga yang lebih kompetitif di banding Indonesia. Bila itu terjadi, permintaan dollar akan semakin meningkat dan rupiah semakin tertekan.

Tentu saja, BI tak ingin pelemahan rupiah terjadi semakin dalam dengan menurunkan BI rate. Karena itu tak heran jika BI masih tetap mempertahankan BI rate di tingkat 7,5 persen. Dari sini terlihat, BI memilih menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan rela memangkas target pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan awalnya dipatok 5-5,4 persen, kemudian dipangkas menjadi 5-5,2 persen, dan dipangkas lagi pada Agustus lalu menjadi 4,7-5,1 persen.

Nyata terlihat, ada trade off antara tujuan mengejar pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar (exchange rate policy).

Selain melalui kebijakan moneter, rangsangan bagi sektor riil juga bisa dilakukan melalui kebijakan fiskal. Caranya dengan memberikan potongan pajak. Sayang, target tinggi pertumbuhan ekonomi yang dicetuskan presiden di masa awal pemerintahannya tak dibarengi dengan relaksasi pajak. Pemerintah justru meningkatkan target penerimaan pajak menjadi sekitar Rp 1.300 triliun atau naik hingga 30 persen dibanding tahun sebelumnya.

Angka sebesar ini jauh di atas tingkat pertumbuhan alami pajak sebesar 14,2 persen per tahun. Tak heran, target tinggi penerimaan pajak ini membuat fiskus (petugas pajak) bersikap agresif dalam mengumpulkan pajak. "Para pengusaha ketakutan karena petugas pajak jadi agresif, padahal kondisi kami lagi susah begini," kata seorang pengusaha. Tentu ini sesuatu yang kontradiktif di tengah keinginan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline