Senin 21 Mei 2012 yang lalu saya pergi ke sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri. Tujuannya adalah melakukan studi lapangan, lebih tepatnya sih observasi lapangan, mengenai jalannya manajemen Bimbingan dan Konseling di sekolah tersebut.
Beberapa teman seangkatan di jurusanku juga melakukan hal yang sama, namun dengan sekolah yang berbeda tentu saja. Ada yang memilih SMP, SMK, SMA ada juga yang memilih Sekolah Agama yang ada di Kota Makassar dan sekitarnya. Semua dengan tujuan yang sama, mencari tahu bagaimana jalannya manajemen BK yang ada di sekolah-sekolah. Namun saya hanya akan menceritakan kisahku bersama teman kelompokku saja.
kegiatan di sekolah hari itu kami awali dengan wawancara lepas bersama salah seorang guru BK, sambil menunggu kedatangan Bapak Koordinator BK yang akan kami tanya lebih dalam mengenai manajemen BK.
Saat kami tanya mengenai program Bimbingan dan Konseling kepada guru Bk yang menemani kami menunggu,beliau menjawab dengan tenang dan tampak menguasai betul, secara konseptual, apa yang harus dilakukan. Beliau tahu bahwa BK hendaknya memberikan layanan bimbingan Belajar, Sosial, karir, dan Pribadi.
Salah seorang teman kemudian bertanya, “Ibu… Biasanya kalau mengonseling siswa yang lagi punya masalah dimana Bu?” Beliau kemudian menjawab,”Seperti yang kalian lihat, ruangan Bk di sekolah ini tidak layak pakai digunakan, namun kami tetap melakukan proses konseling di sini. kadang-kadang juga di bawah pohon atau di taman sekitar sekolah agar siswa lebih enak bercerita” Ungkap sang Guru. Gambaran yang beliau berikan adalah sebuah proses konseling yang sungguh sangat nyaman. Namun, Bagiku ada yang aneh dengan ungkapan beliau, itu terlihat dari tatapan mata beliau.
Tak lama kemudian Bapak Koordinator guru BK di sekolah bersangkutan pun datang. Begitu juga dengan salah seorang siswa yang akan menjadi responden kami dalam kegiatan ini.
Salah seorang teman saya kemudian segera menghampiri sang Bapak koordinator untuk dimintai beberapa keterangan terkait dengan layanan BK di sekolah ini. Teman yang lain kemudian mendekati sang murid untuk menjalankan juga tugasnya. Sedangkan aku hanya duduk santai sambil menunggu kepala sekolah yang juga menjadi responden.
Saat duduk menunggu ternyata ada salah seorang siswa yang dialih tangankan ke guru BK. Alhasil, kami dapat langsung melihat bagaimana proses konseling karena memang tidak disediakan ruangan khusus. Kondisi ini sangat tidak baik bagi psikologis siswa yang bersangkutan, bagaimana mungkin dia menceritakan kesulitan-kesulitan atau hal-hal yang bersifat pribadi di ruangan yang bisa didengar oleh siapa saja yang ada di dalam, termasuk kami yang datang sebagai tamu.
Kondisi buruknya sarana dan prasarana ternyata ditambah oleh sikap guru BK yang sangat kontras dengan penjelasan konseptual beliau di awal pertemuan kami. Siswa yang datang sama sekali tidak disambut dengan ramah, melainkan disambut dengan Judges yang negatif dari beliau. Siswa di serang dengan berbagai hujaman-hujaman negatif. Tak hanya itu guru BK yang lain yang berada diruangan tersebut turut memperburuk suasana konseling dengan ikut memberikan komentar negatif terhadap siswa. Bahkan saat salah seorang teman kelasnya yang datang juga turut memberikan komentar negatifnya. Siswa tersebut seperti dihujani peluru kata-kata. Belum lagi ketika guru BK bertanya kepada siswa mengapa ia berlaku demikian? belum sempat sang murid menjawab untuk menjelaskan alasannya, sang Guru Bk sudah menjawab sendiri pertanyaannya dengan kalimat negatif. Bisa dibayangkan bagaimana peraasaan siswa yang dipermalukan dikeramaian seperti itu. belum lagi dampak psikologis jangka panjang yang akan didapatkan olehnya.
Cukupkah sampai disitu? TIDAK!!! sang guru kemudian menelpon orang tua siswa untuk melaporkan kenakalan anaknya di sekolah selama ini. Bisa ditebak apa yang akan terjadi jika ia sampai dirumah.
Cukupkah sampai disitu? TIDAK!!! Sang guru BK kemudian menyuruh si murid untuk mengambil air dan menyiram teras ruang BK sampai bersih.