Baru-baru ini kasus kekerasan di sekolah kembali mencuat. Di Sidoarjo, seorang guru bernama Sambudi dilaporkan polisi karena mencubit siswanya, SS. Guru SMP Raden Rahmad Balongbendo itu mencubit karena yang bersangkutan tidak mengkuti kegiatan shalat duha bersama. SS memilih bermain di tepi sungai.
Tidak terima perlakuan sang guru, orang tua SS Yuni Kurniawan melaporkannya ke Polsek Balongbendo. Yuni Kuriniawan yang merupakan anggota Kodim 0817 Gresik berpangkat Serka dari satuan intel itu menilai tindakan Sambudi sudah keluar dari konteks mendidik. Ini kekerasan. Keyakinan Yuni Kurniawan diamini Kapolsek Balongbendo, Kompol Sutriswoko. Menurutnya, Sambudi secara nyata melakukan tindakan pencubitan tersebut hingga menyebabkan memar di lengan atas sebelah kanan SS. Itu sudah dibuktikan pula dengan hasil visum.
Terkait hal ini, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim, Ichwan Sumadi, menilainya berbeda. Ia mengatakan penyidangan terhadap Sambudi tersebut berada di luar akal sehat. Katakanlah, seorang guru itu mencubit siswa. Namun, yang dilakukannya itu masih dalam koridor mendidik. (http://surabaya.tribunnews.com/)
Mengajar dan menghajar menjadi sangat tipis bedanya. Sebelum lebih jauh mendiskusikannya, saya akan berbagi pengalaman. Saya termasuk orang yang dididik ala tempo dulu yang beranggapan bahwa hukuman adalah media pembelajaran dan pendidikan. Zaman saya belajar yang namanya dicubit, dilempar penghapus, bahkan dipukul sudah lazim diterapkan di lembaga pendidikan baik formal seperti sekolah atau informal seperti pesantren.
Tahun 80 an saya pernah nyatri di salah satu pesantren di Jawa Timur. Di lembaga itu hukuman bagi santri yang melanggar peraturan seperti pukulan, cubitan diterapkan. Saya masih ingat saat dicubit karena telat salat berjamaah, tidak bisa menghafal atau lainnya. Rasaanya tidak satu santri pun yang lepas dari hukuman itu. Maklum, namanya juga manusia ada saat khilaf, lupa, atau lalai.
Minggu kemaren saya mengantarkan anak ke pesantren yang sama. Banyak perubahan terjadi. Zaman saya dengan anak saya sangat berbeda. Pesantren sekarang sangat berhati-hati dalam mendidik anak santrinya, terutama terkait dengan tindak kekerasan dalam mendisiplinkan anak-anak. Sekarang tak ada cubitan atau lainnya. Yang ada setiap pelanggaran diberi point. Point-point pelanggaran akan diakumolasikan. Pada jumlah tertentu akan diberi surat peringatan (SP). SP diberikan sebanyak tiga kali. Bagi santri penerima SP 1 tak diijinkan keluar pesantren saat libur hari Jumat. SP 2 diberi peringatan keras dengan menginformasikan ke orang tua. SP 3 dikeluarkan dari pesantren. Setiap SP, santri menandatangani surat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan lagi.
Dalam kunjungan ke pesantren, saya menyempatkan diri berdiskusi sekaligus bernastalgia dengan kepala sekolah anak saya tentang hukuman di Pesantren. Dulu dia kakak kelas saya di pesantren tersebut. Diskusi mengalir. Maklum namanya juga diskusi informal. Dalam obrolan itu terungkap bahwa perkembangan zaman menuntut perubahan. Derasnya arus informasi, ilmu pengetahuan dan tekhnologi memaksa kita mengubah diri dalam setiap hal termasuk dalam cara mendidik. Kesadaran setiap orang terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) membuat guru atau pendidik tak leluasa menjalankan tugas dan fungsinya. Apalagi fakta membuktikan, tak sedikit guru yang diadukan oleh pihak peserta didik ke rana hukum karena dinilai melanggar HAM. Atau dianggap melakukan tindak kekerasan seperti dalam kasus Pak Sambudi di Sidoarjo.
Berbeda dengan peserta didik yang dilindungi UU serperti UU perlindungan anak, HAM, guru dalam menjalankan tugasnya (baca:mengajar) belum ada aturan yang melindungi keamanan mereka secara maksimal. Padahal tugas mereka mulia, mencerdaskan anak bangsa. Ini memang ironi. Sehingga para guru kerapkali kalah di depan hukum ketika diadukan oleh peserta didik terkait dugaan kekerasan dalam proses belajar mengajar. Hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah di waktu yang akan datang yang wajib diperioritaskan.
Fase Pendidikan
Kembali ke persoalan menghajar dalam mengajar. Dalam buku Orang Tuanya Manusia,Munif Chatib (2012) mengutif sebuah hadist Rasulullah SAW membagi fase mendidik anak menjadi tiga. Tujuh tahun pertama (usia 0-7 tahun) jadikanlah anak sebagai raja. Tujuh tahun kedua (usia 8-14 tahun) perlakukan anak sebagai pembantu. Tujuh tahun ketiga (usia 15-21 tahun) jadikan mereka laksana wazir menteri dalam bahasa Sayidina Ali bin Abi Thalib ra sebagai sahabat.
Fase pertama adalah tanggung jawab orang tua sepenunya dalam keluarga. Dalam fase ini tidak boleh ada kekerasan fisik atau psikis sekecil atau seringan apa pun. Mereka adalah para raja. Orang tua harus melayani kebutuhan mereka dengan penuh kasih sayang. Menyuapi, memandikan, dan seterusnya. Seorang raja tentu tak bisa disuruh-suruh atau diatur..Jangan bentak mereka apalagi memukul. Biarkan mereka bermain. Bagi mereka tidak diperkenankan adanya aturan. Bukankah mereka raja?